TINJAUAN
YURIDIS MENGENAI
LESBIAN,
GAY, BISEKSUAL
DAN TRANSGENDER (LGBT)
MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM
POSITIF DI INDONESIA
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian
dari syarat-syarat guna mencapai
gelar Sarjana Hukum
Oleh:
N
A M A
|
:
RARIES WIJAYANTI
|
N
I M
|
:
214 02 07 712
|
Program
Studi
|
:
Ilmu Hukum
|
SEKOLAH
TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM
BANJARMASIN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Alasan
Memilih Judul
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dipahami
mengandung arti lima dasar. Kelima dasar ini adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pengakuan atas eksistensi Pancasila
ini bersifat imperatif atau memaksa. Artinya, siapa saja yang berada di
wilayah NKRI, harus menghormati Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara
Republik Indonesia.
Sejak lahir,
manusia miliki sebuah hak yang seharusnya mereka dapatkan untuk kemerdekaan
dirinya sendiri sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat siapa pun. Menurut John Locke (1660), hak yang sudah diberikan
Tuhan sebagai sesuatu yang memang kodratnya disebut hak asasi manusia. Hak
Asasi Manusia menurut UU No.39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak untuk berbicara, hak untuk hidup,
dan hak-hak lainnya merupakan suatu hak yang harus didapatkan oleh manusia.
HAM dalam Pancasila sesunguhnya telah dirumuskan
dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian diperinci di dalam batang tubuhnya yang
merupakan hukum dasar, hukum yang konstitusional dan fundamental bagi negara
Republik Indonesia. Perumusan alinea pertama Pembukaan UUD membuktikan
adanya pengakuan HAM ini secara universal. Ditegaskan di awal Pembukaan UUD itu
tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia. Oleh sebab
itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Bangsa Indonesia menginginkan negara yang menjamin
kesejahteraan rakyat , yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Negara
demikian adalah negara hukum . Sebagai negara hukum, hak-hak rakyat dijamin
sepenuhnya oleh negara berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pasal
28D (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan ,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”
Kontroversi mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender atau yang lebih dikenal LGBT sedang dibicarakan oleh berbagai
kalangan masyarakat. Banyak kalangan yang menolak akan adanya LGBT ini sendiri
karena menganggap melanggar kodratnya manusia diciptakan. Salah satunya MUI yang menilai haram secara
agama maupun pancasila khususnya pada sila ke-1. Akan tetapi, pendapat kalangan
minoritas tersebut mereka menganggap bahwa yang mereka lakukan adalah hak-hak
mereka karena memang itu semua adalah pilihannya.
Pertambahan
jumlah pelaku LGBT di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu
antara tahun 2009 sampai dengan 2012 diperkirakan mengalami peningkatan sebesar
37%. Peningkatan tersebut juga diikuti peningkatan akses internet, pornografi,
narkoba dan muncul banyaknya organisasi gerakan LGBT. Selain faktor biologis,
pengaruh lingkungan terdekat terutama keluarga, teman bermain, kekerasan seksual,
paparan konten pornografi dan narkoba disinyalir kuat menjadi pemicu praktik LGBT.
Pengaruh
LGBT ini setidaknya pernah memakan korban karena diskriminasi warga, sehingga
Komnas HAM membahas mengenai isu publik tersebut. Jumlah gay di Indonesia
mencapai angka 20.000 sedangkan para ahli dan PBB menyebutkan peningkatan
jumlah gay dari tahun 2010 diperkirakan 800 ribu menjadi 3 juta pada tahun
2012. Di Jakarta diperkirakan terdapat sekitar 5 ribu gay dan di Jawa Timur
terdapat 348 ribu gay dari 6 juta penduduk Jawa Timur.
Sedangkan untuk Kalimantan Selatan yang sempat
mencuat dalam harian media cetak lokal menyebutkan bahwa saat ini Kalimantan
Selatan darurat LGBT ditinjau dari media sosial yang dalam telusuran tercatat adanya group media sosial Facebook (FB) Gay
Athena Banjarmasin, Gay Banjarmasin, Perkumpulan Gay Banjarmasin, Gay SMP/SMA
Banjarmasin & sekitarnya, Waria Borneo Banjarmasin, Pin dan Nope Gay
Banjarmasin Part 3, Communitas Gay Martapura & Banjarbaru (NEW), Gay Lovers
Pelaihari, Babam Besa...Bekintulan, Gay/Top/Bot/ Khusus Banjarbaru, Communitas
Gay Martapura & Banjarbaru (New) dan Web Web Kalimantan (www.freegb.net),
sampai saat ini anggota groupnya sudah mencapai ribuan orang lebih.
Beberapa
kejadian mengenai kasus LGBT di Indonesia yang heboh mencuat ke permukaan
misalnya Penggerebekan diduga pesta seks gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara,
mengagetkan masyarakat Indonesia.
Sebab, ada lebih dari 100 orang yang ditangkap aparat.
Foto-foto yang beredar liar dari lokasi kejadian memperlihatkan tubuh-tubuh
tersangka yang nyaris telanjang. Selanjutnya p
ada
September 2015, warga Bali dihebohkan dengan pernikahan pasangan dua pria di
sebuah hotel di daerah Ubud Kabupaten Gianyar, Bali. Kemudian Pada awal
Mei 2017 masyarakat Surabaya dikejutkan dengan pesta gay yang diduga dilakukan
di dua kamar di Hotel Oval Surabaya. Dalam kejadian tersebut sebanyak 14
orang ditangkap, dimana lima dari 14 orang peserta pesta seks gay itu
positif mengidap
Human Immunodeficiency
Virus (HIV)
Mengenai perlindungan kaum LGBT sampai saat ini
hanya mengenai tindak diskriminasi terhadap mereka bukan melegalkan karena
hingga saat ini pemerintah masih tidak menyetujui untuk melegalkan hal
tersebut.
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di
Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok
LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana.
Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang
anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau
identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki
dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk
menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan
dokumen identitas dan hal lain yang terkait.
Selain faktor biologis, perilaku seksual menyimpang
tersebut juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Maraknya komunitas LGBT belakangan ini karena
penyakit tersebut bisa ditularkan. Dari hasil survei dalam sebuah penelitian
ilmiah menyebutkan bahwa mereka yang sudah mengalami kelainan tersebut kemudian
juga menularkan kepada orang lain di sekitarnya dengan mengajak bergabung di
komunitas yang mereka bentuk. Di komunitas itulah, lelaki atau perempuan yang
sebelumnya masih normal kemudian menjadi berubah sifatnya karena pengaruh
doktrin di komunitas tersebut.
Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia,
kita harus menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa
dalam kacamata hukum. Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat
dalam suatu hal.
Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian
hukum untuk mendapatkan ‘status yuridis’-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah
tidak?
Taat pada norma hukum positif (norma hukum yang
sedang berlaku) adalah suatu konsesi patriotisme yang paling utama sebagai
sendi-sendi perilaku konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat
disemai keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum.
Bertalian dengan hal tersebut, pada kenyataannya
kajian hukum tidak hanya tentang norma hukum positif tapi juga sejarah hukum
dan politik hukum yang berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum,
dan pengawasan hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan
hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur, saling tumpang tindih atau
bahkan saling bertentangan. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau
perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus eksis di
kancah kajian atau pendapat hukum. Inilah suatu logical plot yang dikenal
dengan istilah democratic and constitutional welfare state sebagai
muatan glosarium ketatanegaraan Indonesia.
LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah
identitas, tetapi juga merupakan campaign
substance and cover atas pelanggengan Same
Sex Attraction (SSA). Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi
homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya
melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam
membentuk institusi keluarga.
Preferensi homoseksual itu hadir dalam
keyakinan atas aktualisasi diri, pemikiran berisi pembenaran preferensi
tersebut, dan keinginan yang mendorong untuk merealisasikannya. Perbuatan
homoseksual itu mewujud dalam hubungan interpersonal sesama homoseksual.
Selanjutnya, pembentukan keluarga LGBT adalah fase paling mutakhir dalam
melanggengkan kedua perilaku yang lainnya, baik preferensinya maupun
perbuatannya sebagai homoseksual.
Sejarah homoseksualitas dapat
ditilik dari masa Mesir Kuno, sementara itu sikap masyarakat
terhadap hubungan sesama jenis telah berubah dari waktu ke waktu dan berbeda
secara geografis. Bermula dari mengharapkan semua pria terikat dalam hubungan
sesama jenis, dalam kesatuan sederhana, melalui penerimaan, dalam pemahaman
praktik tersebut merupakan dosa kecil, menekannya melalui penegakan hukum dan mekanisme
pengadilan, hingga dalam pengharaman hubungan tersebut praktik homoseksual
dijerat dengan hukuman mati.
Perilaku LGBT pada gilirannya akan
mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan
menyimpang karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan
prinsip-prinsip dasar kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian
sosial. Faktanya, tidak ada satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai
kemanfaatan manapun yang membenarkan perilaku demikian.
Gagasan dan realitas komunitas LGBT
yang luas mencapai ke pelosok kota atau ke seluruh wilayah negara merupakan
suatu praktik sosial dan bukan suatu identitas ataupun adanya rasa kebersamaan.
Ada ruang dan konteks sosial berbeda dimana mereka merasa nyaman dan bisa
menjalin hubungan dengan penganut LGBT lainnya. Hal ini didasarkan pada
pengalaman pribadi dan khususnya praktik-praktik sosial dan seksual.
Bagi penganut LGBT yang berada
dikalangan orang yang berpendidikan dan memiliki taraf ekonomi menengah keatas,
mereka memiliki komunitas tersendiri dalam melakukan praktik sosial dan seksualnya,
pada umumnya mereka hanya terbuka dengan kalangannya. Namun kita bias melihat penganut LGBT yang
berada dikalangan ekonomi menengah kebawah dan memiliki hasrat namun tidak tau
kemana dirinya harus mengeksplorasi keinginan nya tersebut cenderung melakukan
perbuatan asusila seperti yang banyak diberitakan di beberapa media massa
misalnya tindak pidana kejahatan seksual sodomi. Dan dalam hal ini belum ada
undang-undang yang mengatur secara khusus.
Barangkali
satu-satunya dasar pemikiran yang membenarkan ialah falsafah etis hedonisme
yang tidak rampung. Aristippus sebagai tokoh falsafah hedonisme dan murid
Socrates menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hidup manusia adalah
kesenangan. Namun, apabila kita melihat seluruh catatan filsafat Barat tentang
filsafat hedonisme, tidak ada yang menyebutkan bahwa kesenangan yang dimaksud
itu adalah hal yang secara langsung diingini oleh hasrat yang fana. Seluruhnya
mengarahkan pada pemikiran untuk mencapai kesenangan yang hakiki dimana berlaku
pengendalian diri dan kesejatian insani.
Telah
nyata bahwa wahyu Tuhan mengutuk perilaku homoseksual. Juga tidak akan ada akal
sehat yang membenarkannya. Pun tidak akan ada pandangan berwawasan kebangsaan
yang akan membelanya. Di luar itu, cuma akal dan pandangan yang bertekuk lutut
di bawah hasrat pemenangan diri sendiri atau ketidaksadaran atas perusakan
tatanan kemasyarakatan yang bermartabat saja yang mungkin mendukungnya.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, sebab itu penulis
mengangkat masalah tersebut untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai
kasus belum ada kejelasan apakah LGBT adalah sebuah hak manusia untuk memilih
jalan tersebut ataukah tindakan yang melanggar ketentuan agama yang artinya
melanggar pula Pancasila sila ke-1 yang mengakui adanya Tuhan.
B.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji LGBT dalam perspektif hukum positif di Indonesia
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap
korban dari perilaku LGBT
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1. Menjadi
bahan referensi bagi para akademisi khususnya para mahasiswa program studi ilmu
hukum.
2. Menjadi
bahan masukan terhadap aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, Hakim,
praktisi hukum serta instansi terkait lainnya terhadap masalah LGBT.
3.
Sumber literatur dan tambahan
pengetahuan bagi masyarakat umum yang mempunya kepedulian terhadap permasalahan
hukum terutama sehubungan dengan perilaku LGBT yang ada dimasyarakat.
C.
Perumusan
dan Pembatasan Masalah
Dari
latar belakang diatas, maka yang akan diidentifikasi adalah:
1. Bagaimana
perspektif hukum positif di Indonesia terhadap LGBT?
2. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap korban dari
perilaku LGBT?
D.
Metode
dan Teknik Penelitian
1.
Metode Penelitian
Berdasarkan
permasalahan yang diteliti oleh penulis, metode yang digunakan dalam skripsi
ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif
adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum)
yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).
2.
Tipe Penelitian
Tipe
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
yang dilakukan dengan cara menganalisis seluruh peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan LGBT untuk memperoleh
konsistensi/ kesesuaian antar peraturan perundang-undangan sehingga diketahui
kendala dan hambatan penerapan peraturan terkait permasalahan tersebut.
3.
Sifat Penelitian
Penelitian
hukum dalam penulisan skripsi ini bersifat analisis deskriptif yaitu
menggambarkan konsep hukum dalam peraturan perundang-undangan (law in books), dalam hal ini terkait
dengan dasar hukum di Indonesia terkait LGBT.
4.
Bahan Hukum
Penulisan
skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif sehingga terdapat 3 (tiga)
macam bahan pustaka
yang digunakan oleh penulis, yakni :
a. Bahan
hukum primer
Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer yang penulis gunakan
dalam penelitian ini terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak
Asasi Manusia. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU No 13 Tahun
2006 jo. UU no 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU
No 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan
hukum sekunder
Bahan hukum sekunder
yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti
hasil-hasil penelitian (jurnal hukum) dan pendapat pakar hukum.
c. Bahan
hukum tersier
Bahan hukum tersier
adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang penulis gunakan dalam
skripsi ini adalah kamus hukum, ensiklopedia hukum (istilah-istilah hukum).
5.
Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan
Hukum
Teknik
pengumpulan bahan hukum dalam skripsi ini menggunakan studi dokumen atau bahan
pustaka meliputi studi bahan-bahan hukum dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Studi dokumen dilakukan dengan cara membaca,
menelaah, mencatat, membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya
dengan LGBT
Teknik
pengolahan bahan hukum dalam skripsi ini dengan cara mengklasifikasikan
bahan-bahan hukum untuk memudahkan analisis dalam penelitian hukum normatif,
selanjutnya dilakukan pembahasan sehingga diperoleh hasil analisis hukum
kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis guna menjawab
permasalahan dalam penelitian.
E.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
pembahasan yang menjadi langkah-langkah dalam proses penyusunan skripsi ini
selanjutnya yaitu :
Bab
I Pendahuluan berisi tentang alasan pemilihan judul, tujuan dari penelitian, kegunaan penelitian,
perumusan dan pembatasan masalah, metode dan teknik penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab
II Tinjauan yuridis mengenai LGBT
menurut perspektif hukum di Indonesia yang terdiri dari pengertian
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Pengertian dan dasar hukum tentang Hak Asasi Manusia,
Tindak Pidana Kesusilaan oleh LGBT.
Bab
III Masalah LGBT menurut perspektif hukum positif di Indonesia berisi tentang Perspektif Hukum positif
di Indonesia terhadap LGBT
dan Perlindungan
Hukum terhadap korban dari perilaku
LGBT.
Bab
IV Penutup berisi kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN
YURIDIS MENGENAI LGBT MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A.
Pengertian Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
(LGBT)
Keberadaan
kaum homoseksual di Indonesia masih menjadi kontroversi di negara yang
menjunjung nilai moral yang tinggi. Homoseksual masih dianggap tabu dan
menakutkan oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Namun saat ini tak sedikit
masyarakat Indonesia yang telah menerima kehadiran mereka sebagai salah satu
dari keragaman, bukan lagi suatu hal yang menyimpang. Tak kurang dari 1%
penduduk Indonesia adalah pelaku seks menyimpang (gay dan lesbian), jumlah itu
akan terus bertambah sejalan dengan perkembangan dan eksistensi asosiasi
homoseksual di Indonesia.
Homoseksual
merupakan masalah global dan modern sekarang ini, gaya hidup atau life style
merupakan hal yang sangat penting dan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan
identitas diri. Homoseksual sudah menjadi suatu fenomena yang banyak
dibicarakan di dalam masyarakat, baik di berbagai negara maupun di Indonesia.
Di Indonesia sendiri homoseksual masih menjadi suatu fenomena seksual yang
tidak lazim dan dianggap aneh oleh sebagian masyarakat.
Di
negara-negara barat fenomena LGBT sudah tidak lagi menjadi suatu fenomena yang
dianggap tabu lagi.
Orientasi seksual yang lazim ada dalam masyarakat adalah heteroseksual
sedangkan homoseksual oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan orientasi
seksual. Orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara
faktor lingkungan, kognitif, dan biologis. Pada sebagian besar individu,
orientasi seksual terbentuk sejak masa kecil.
Ada
banyak pendapat dimana teori queer ini dibedakan dari teori pembebasan gay yang
paling awal. Dengan munculnya seksualitas di era modern seseorang ditempatkan
dalam kategori tertentu yaitu kedua pasangan tidak bertindak atas kecenderungan
baik yang aktif maupun pasif. Maka dari itu pemahaman seksualitas tidak dapat
ditinjau dari segi natural semua pemahaman seksualitas dibangun dan dimediasi
oleh pemahaman budaya. Akibatnya kaum homoseksual gay ataupun lesbian pada saat
ini menganggap diri mereka itu normal dikarenakan mereka menganggap apa yang
terjadi pada diri mereka merupakan perkembangan sosial semata.
Secara
umum, terjadinya perilaku LGBT dipicu oleh dua hal, yaitu factor syahwat
(hormon seksualitas) dan pembenaran akal (pemikiran). Secara biologis, tubuh
manusia memiliki sistem hormonal yang salah satunya berhubungan dengan dorongan
nafsu seksualitas dan orientasi seksualnya.
Penguatan
rangsangan yang masuk melalui inderawi (mata, telinga, kulit) dapat memicu
aktivitas hormonal tubuh yang mendorong aksi pemenuhan kebutuhan biologis berupa
penyaluran seksualitas. Seseorang yang melihat, mendengar, tersentuh sesuatu
terkait seks, baik tayangan pornografi, mendengar aktivitas seks atau sentuhan
kulit akibat aktivitas seksualitas akan mendorong rangsangan seks. Seseorang
akan memiliki hasrat penyaluran seksualitas ketika ada pemicunya tersebut.
Jika
selama ini yang diketahuinya bahwa penyaluran seksualitas sesuai
aturan agama, seperti
hanya pada pasangan heteroseksual, setelah menikah, ditempat yang dibolehkan
dan seterusnya maka perilaku seksualitasnya akan mengarah kepada penyaluran
yang lazim tersebut. Namun sebaliknya jika yang dipikirkannya atau orientasi
seksualitasnya terjadi sebaliknya maka yang muncul adalah penyimpangan seperti Lesbian,
Gay, Biseksual, dan transgender (LGBT). Penyimpangan tersebut dapat terjadi
karena pengetahuan seks yang diperolehnya mengarah kepada perilaku LGBT baik
secara langsung maupun tidak. Disisi lain dorongan pemikiran yang menganggap
perilaku LGBT (seks non heteroseksual) sebagai hal yang lazim akan mengarahkan
penyaluran hasrat seksualitas dari aktivitas hormonal tubuh tersebut turut
menyimpang sesuai kemauan arahan pikiran.
1.
Lesbian
Pengertian lesbian
adalah perempuan yang secara psikologis, emosi dan seksual tertarik kepada perempuan lain. Seorang lesbian
tidak memiliki hasrat terhadap gender yang berbeda/ laki-laki, akan tetapi
seorang lesbian hanya tertarik kepada gender yang sama/perempuan. Mereka
berpendapat bahwa istilah lesbian menyatakan komponen emosional dalam
suatu relationship, sedangkan istilah homoseksual lebih fokus
kepada seksualitas. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan
orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang
mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual.
2.
Gay
Gay adalah
penyimpangan sosial yang terjadi karena seorang lelaki menyukai sesama jenisnya
laki-laki. Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama
jenis, meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum/politik yang
mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan
hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Hubungan dan
tindakan homoseksual telah dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah,
tergantung pada bentuknya dan budaya tempat mereka didapati. Sejak akhir abad
ke-19, telah ada gerakan menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi
orang-orang gay, yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak
adopsi dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan
hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan.
Kaum gay memiliki
ciri-ciri yang membantu mereka untuk mengenali dan dikenali dengan sesama gay
dan di dalam masyarakat. Ciri-ciri tersebut terkadang sengaja dibentuk oleh
mereka, tapi ada juga yang dilakukan secara tidak sengaja atau pembawaan secara
naluri. Berikut adalah karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki kaum gay; Gay
lebih menyukai mengenakan pakaian ketat, karena dapat memperlihatkan lekuk
tubuh si pemakai. Bagi gay, lekukan tubuh merupakan daya jual tersendiri. Gay
lebih senang memakai warna mencolok. Dalam berkomunikasi gaya bicaranya pun
lebih feminin dan perhiasan yang dikenakannya pun cenderung ramai. Bahkan itu
merupakan alat komunikasi sesama gay.
Ciri lainnya adalah
selalu tertarik pada aktivitas yang biasanya dilakukan wanita. Ada juga yang
mengatakan bahwa, ciri-ciri lelaki gay adalah sebagai berikut:
a.
Berpenampilan
rapi
b.
Tidak banyak
bicara (cenderung pendiam)
c.
Menggunakan
wewangian
d.
Berbicara dengan
nada lembut
e.
Bertindak
hati-hati dalam segala hal yang dia lakukan
f.
Mengenakan
pakaian yang berbeda kesannya dengan yang lain (cenderung stylist dan menarik
perhatian)
Setiap gay tidak memiliki perbedaan dari
tatapan mereka. Dapat dikatakan, mereka cenderung pendiam atau cenderung
cerewet. Gaya hidup mereka terkadang terlalu normal atau terlalu tidak wajar.
Mereka bisa mendapat tekanan batin dan bisa pula mereka terlalu terbiasa dengan
kondisi mereka sebagai gay. Biasanya kaum gay cenderung temperamental.
3.
Biseksual
Di ambil dari kata “bi”
yang berarti dua dan “seksual” yang berarti persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan.
Biseksual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Orang yang tertarik kepada kedua
jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan). Seksualitas
berasal dari kata seks, yang berarti nafsu syahwat atau libido seksual. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa: “Seksual adalah dorongan kuat
bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mendekati dan bercengkrama, baik
untuk berhubungan biasa (berteman) maupun berhubungan kelamin.”
Menurut, Johnson, dan
Kolodny dalam Eny Kusmiran seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat
luas, diantaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial dan kultural.
Berikut ini penjelasannya
a.
Dimensi biologis,
berdasarkan perspektif biologi (fisik),seksualitas berkaitan dengan anatomi dan
fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia, serta dampaknya bagi
kehidupan fisik atau biologis manusia.
b.
Dimensi
psikologis, berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungan erat dengan
bagaimana manusia menjalani fungsi seksual dengan identitas jenis kelaminnya,
dan bagaimana dinamika aspek-aspek psikologi (kognisi, emosi, motivasi,
prilaku) terhadap seksualitas itu sendiri, serta bagaimana dampak psikologi dari
keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia.
c.
Dimensi sosial,
melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antarmanusia, bagaimana
seseorang beradaptasi atau menyusuaikan diri dengan tuntutan peran dari
lingkungan sosial, erta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas
dalam kehidupan manusia.
d.
Dimensi Kultural
dan Moral, dimensi ini menunjukan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral
mempunyai penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat.
Seksualitas di negara-negara barat pada umumnya menjadi salah satu aspek
kehidupan yang terbuka dan menjadi hak asasi manusia. Beda halnya dengan
moralitas agama, misalnya menganggap bahwa seksualitas sepenuhnya adalah hak
Tuhan sehingga penggunaan dan pemanfaatannya harus dilandasi dengan norma-norma
agama yang sudah mengatur kehidupan seksualitas menusia secara lengkap.
Definisi di atas
menunjukkan bahwa biseksual ialah seseorang yang tertarik secara seksual kepada
jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin yang berbeda dengannya. Oleh
karena itu, perbedaan antara homoseksual dan biseksual adalah letak
ketertarikan seksual yang berbeda, yaitu kecenderungan homoseksual untuk
tertarik kepada sejenisnya sedangkan biseksual mempunyai ketertarikan kepada
jenis kelamin yang sama maupun dengan jenis kelamin
4.
Transgender
Transgender adalah
istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa,
berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka
lahir. "Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi
seksual orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan
dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual,
panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang tepat
untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup
a.
Tentang,
berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai
dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan,
melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya.
b.
Orang yang
ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan pada alat
kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak sempurna
bagi dirinya.
c.
Non-identifikasi
dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada dirinya
pada saat kelahirannya.
Transgender merupakan individu yang merasa diri mereka
lahir dengan jenis kelamin biologis yang salah dan menganggap dirinya adalah
kelompok dari jenis kelamin kebalikannya. Faktor yang menjadi latar belakang
adalah faktor internal (alamiah), maupun faktor eksternal (pengaruh keluarga
dan lingkungan).
Yash menyatakan bahwa:
“Transgender adalah kata yang digunakan untuk
mendeskripsikan bagi orang yang melakukan, merasa, berfikir atau terlihat
berbeda dari jenis kelamin yang telah ditetapkan sejak lahir. Transgender tidak
mengacu pada bentuk spesifik apapun ataupun orientasi seksual orangnya. Seorang
transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang
heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.”
Mereka yang merasakan
ketidaknyamanan dengan gender kelaminnya, akan melakukan operasi pergantian
kelamin atau yang disebut dengan transgender. Namun langkah mereka tidak hanya
sampai disitu, setelah melakukan sebuah operasi pergantian kelamin maka
selanjutnya dilakukan sebuah pergantian identitas.
Mereka yang berani
melakukan transgender atau operasi penggantian kelamin, bukanlah termasuk pada
kategori penyuka sesama jenis (homoseksual /lesbian) tetapi karena memiliki
kelainan pada orientasi seksualnya atau merasa terjebak pada jenis kelaminnya
tersebut. Salah satu penyebab transgender adalah pengaruh hormonal yang
membentuk karakteristik kelamin manusia, dan ini bukanlah merupakan penyakit
mental.
Istilah Lesbian, Gay,
Besiksual dan Transgender atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan
LGBT digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas
gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah
disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman
"budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”. Istilah LGBT
digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual,
biseksual, atau transgender.
Istilah LGBT banyak
digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga diterapkan oleh mayoritas
komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika
Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.
Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan
akronim ini. Beberapa orang dalam kelompok yang disebutkan merasa tidak
berhubungan dengan kelompok lain dan tidak menyukai penyeragaman ini. Beberapa
orang menyatakan bahwa pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama
dengan pergerakan kaum "LGB". Gagasan tersebut merupakan bagian dari
keyakinan "separatisme lesbian & gay", yang meyakini bahwa
kelompok lesbian dan gay harus dipisah satu sama lain. Ada pula yang tidak
peduli karena mereka merasa bahwa akronim ini terlalu politically correct.
Akronim LGBT merupakan sebuah upaya untuk mengategorikan berbagai kelompok
dalam satu wilayah abu-abu dan penggunaan akronim ini menandakan bahwa isu dan
prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian yang setara. Di sisi lain,
kaum interseks ingin dimasukkan ke dalam kelompok LGBT untuk membentuk
"LGBTI". Akronim "LGBTI" digunakan dalam The Activist's
Guide of the Yogyakarta Principles in Action.
B.
Pengertian Hukum Positif
Hukum
positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini
sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.Hukum positif dapat
diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu antara lain dilihat
dari sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain sebagainya.
a.
Sumber Hukum Positif
Sumber hukum dapat diartikan
sebagai-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus
perkara. Menurut Sudikno, kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa
arti, yaitu:
1)
Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang
merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia jiwa bangsa
dan sebagainya.
2)
Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi
bahan kepada hukum sekarang yang berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi.
3)
Sebagai sumber berlakunya, yang memberi
kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
4)
Sebagai sumber darimana kita dapat
mengenal hukum, misalnya dokumen, undan-undang, lontar, batu bertulis, dan
sebagainya.
5)
Sebagai sumber hukum. Sumber yang
menimbulkan aturan hukum.
Sumber hukum sendiri
diklasifikasikan kedalam dua dua bentuk yaitu sumber hukum formil dan sumber
hukum materiil. Sumber hukum yang formil adalah:
a)
Undang-undang
b)
Adat dan
kebiasaan
c)
Traktat
d)
Yurisprudensi
e)
Doktrin
1.
Unsur, Ciri-Ciri
dan Sifat Hukum Positif
Setelah melihat definisi-definisi hukum, dapat diambil
kesimpulan bahwa hukum positif meliputi beberapa unsur, yaitu:
a.
Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b.
Peraturan
diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c.
Peraturan
bersifat memaksa.
d.
Sanksi terhadap
pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Kemudian, agar hukum dapat dikenal dengan baik,
haruslah diketahui ciri-ciri hukum. Ciri-ciri hukum dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a.
Terdapat perintah
dan larangan
b.
Perintah/larangan
tersebut harus dipatuhi setiap orang
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak
sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu
tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi
pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu
dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang
dinamakan dengan “kaedah hukum”. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar
suatu kaedah hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaedah
hukum) yang berupa hukuman.
Sanksi hukum atau pidana memiliki beragam
jenis bentuk. Namun, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:
Pidana pokok, meliputi:
a.
Pidana mati
b.
Pidana penjara
c.
Pidana Kurungan
d.
Pidana denda
e.
Pidana tutupan
Pidana tambahan,
meliputi:
a.
Pencabutan
hak-hak tertentu
b.
Perampasan
barang-barang tertentu
c.
Pengumuman
putusan Hakim
a.
Fungsi dan Tujuan
Hukum Positif
1)
Sebagai alat
pengatur tata tertib hubungan masyarakat
2)
Sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
3)
Sebagai sarana
penggerak pembangunan.
4)
Sebagai penentuan
alokasi wewenang acara terperinci siapa yang berwenang melakukan pelaksanaan
(penegak) hukum, siapa yang harus mentaatinya, siapa yang memilih sanksi yang
tepat dan adil seperti konsep hukum konstitusi Negara.
5)
Sebagai alat
penyelesaian sengketa.
Soleman B. Taneko, seorang pakar hukum mengemukakan bahwa fungsi
hukum mencakup lebih dari tiga jenis. Adapun fungi hukum yang dimaksudkan
adalah meliputi:
a. Memberikan pedoman/pengarahan pada
warga masyarakat untuk berperilaku.
b. Pengawasan/pengendalian sosial (sosial
control).
c. Penyelesaian sengketa (dispute
settlement).
d. Rekayasa sosial (sosial engineering).
C.
Pengertian dan Dasar Hukum Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1
tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam UU
tersebut juga menyatakan Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya.
Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang
harus memperoleh jaminan hukum , sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila
hak-hak itu dapat dilindungi hukum. HAM merupakan alat untuk memungkinkan warga
masyarakat dengan bebas mengembangkan bakatnya untuk penunaian tugasnya dengan
baik.
Tentang pengertian HAM , A.
Gunawan Setirdja mengemukakan
:
a. Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang
dikodifikasiakan dalam naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik
dalam konstitusi nasional maupun dalam perjanjian internasional.
b. Definisi politis HAM yang menunjuk pada pengertian
politik, yaitu proses dinamis dalam arti luas berkembang di masyarakat suatu
masyarakat tertentu. Termasuk didalamnya keputusan-keputusan yang diambil dalam
rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya mengorganisir sarana-sarana
atau sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut. Hukum merupakan salah
satuhasil terpenting dari proses politik, hukum berakar dalam keadaan politik
konflik masyarakat.
c.
Definisi moral
HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM. Makna etis HAM menyangkut justru
problem esensial, klaim individual harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau
hak-hak politik. Pengertian klaim etis, tuntutan etis mengandung didalamnya
suatu pandangan teoritis mengenai landasan norma-norma etis.
Hak adalah diganti
dengan fungsi sosial yang tidak semua manusia mempunyai hak, sebaliknya tidak
semua manusia menjalankan fungsi-fungsi sosial (kewajiban) tertentu.
Menurut Subhi Mahmassani menyatakan :
“Hak asasi
manusia sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia secara umum bertujuan
dan menghendaki ditetapkannya kaidah-kaidah umum dalam sistem konstitusi dan
perundang-undangan serta hal-hal yang mesti diikuti dalam pelaksanaanya berupa
kode etik dalam gelanggang percaturan politik. Hak-hak tersebut, seperti nampak
dari ungkapan yang umum, yaitu tidak dapat diketahui batasannya dengan konkrit
dan definitive. Ia berkisar di sekitar kebebasan dan prinsip persamaan. Oleh
karena itu, persoalan ini selalu menjadi arena perbedaan pendapat dan
pertentangan paham serta teori yang berbeda-beda”
Philipus
M Hadjon mengelompokkan pemikiran tentang HAM kedalam tiga kelompok yang
didasarkan atas idea atau gagasan yaitu “political and ideological thought”
sebagai berikut :
1.
Konsep Barat.
“Barat” yang dimaksud disini tidak hanya meliputi Eropa Barat, tetapi juga
termasuk Amerika Serikat dan Kanada, Australia, New Zaeland, sebagian
negara-negara Amerika latin yang dipengaruhi oleh pemikiran barat, Jepang dari
sisi geografi maupun tradisi filsafat tidak termasuk kelompok barat namun
dewasa ini darei beberapa segi (ekonomi) dipandang juga sebagai kelompok barat.
Menurut konsep barat, HAM bersumber pada hak-hak kodrat (natural rights/jus naturalis) yang mengalir dari hukum kodrat.
Aspek dominan dalam konsep barat tentang HAM menekankan eksistensi hak dan
kebebasan yang melekat pasa kodrat manusia sebagai individu. Hak tersebut
berada diatas negara dan diatas semua organisasi politik dan sifatnya mutlak
dan tidak dapat diganggu gugat. Konsep ini sering dilontarkan sebagai kritik
bahwa konsep barat tentang HAM adalah konsep yang individualis.
2.
Konsep Sosial.
Konsep ini meliputi negara-negara sosialis di Eropa Timur, termasuk Kuba dan
Yugoslavia yang dari segi ekonomi termasuk dunia ketiga dan dari segi fakta
politik (pertahanan) termasuk kelompok negara non blok. Konsep sosialis tentang
HAM bersumber pada ajaran Karl Mark dan Frederieck Engels. Sosialisme tidak
menekankan hak terhadap masyarakat tetapi menekankan kewajiban terhadap
masyarakat. Atas dasar itu konsep sosialisme Karl Mark mendahulukan kemajuan
ekonomi daripada hak-hak politik dan hak-hak sipil, mendahulukan kesejahteraan
daripada kebebasan. HAM bukanlah bawaan kodrat manusia seperti ajaran hukum
kodrat, tetapi setiap hak warga negara yang bersumber dari negara dalam
pengertian bahwa negaralah yang menetapkan apa yang merupakan hak.
3.
Konsep dunia
ketiga. Kelompok dunia ketiga adalah kelompok secara pemikiran maupun politik
antar bangsa-bangsa berada diluar kelompok Barat dan Sosialis. Negara-negara
tersebut sebagian besar terletak di benua Asia dan Afrika. Terdapat tiga
kelompok di dunia yaitu kelompok pertama dipengaruhi oleh konsep sosialis
Marxisme, kelompok kedua dipengaruhi oleh konsep barat dan yang kelompok ketiga
adalah negara-negara yang karena falsafah hidupnya, ideologi dan latar belakang
sejarahnya menerapkan suatu konsep tersendiri tentang HAM.
Apabila ditelusuri dari
pengaturan tentang HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka diketahui bahwa
konsep HAM sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 ternyata
bersumber dari Pancasila sebagai dasar ideologi dan daar falsafah negara. Oleh
karena itu pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia (Indonesia) bukanlah
hasil dari suatu perjuangan bertahun-tahun tetapi pengakuan itu secara
intrinsik melekat pada Pancasila yang tercermin dalam sila-silanya.
Para penganut LGBT di
Indonesia menginginkan keberadaan mereka diakui serta memiliki landasan hukum
yang jelas berdasarkan Hak Asasi Manusia. Mereka menginginkan hak-hak mereka
juga sejajar dengan hak warga negara yang lainnya.
D. Tindak Pidana Kesusilaan Oleh LGBT
Pembentuk Undang-Undang dalam
berbagai perundang-undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai
terjemahan dari “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut.
Secara harfiah perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.Akan tetapi, diketahui bahwa yang
dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan, ataupun tindakan.
Moeljatno menerjemahkan
istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat
beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Wirjono Prodjodikoro
bahwa dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “perisitiwa pidana”
pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1).Secara
substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada
suatu kejadian yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala
alam.
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif
dan unsur objektif. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :
a.
Kesengajaan(dolus)
b.
Ketidaksengajaan
(culpa)
c.
Niat
(voornemen)
d.
Maksud
(oogmerk)
e.
Dengan
rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade)
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah
sebagai berikut :
a.
Sifat melawan
hukum atau wederrechttelijkheid;
b.
Kualitas dari
pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri;
c.
Kausalitas, yakni
hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan
sebagai akibat.
Dalam hukum pidana, aturan
tentang homoseksual diatur pada buku ke 2 KUHP tentang Kejahatan, Bab XIV
Kejahatan Kesusilaan Pasal 292. Pasal 292 KUHP mengatur bahwa orang yang sudah
dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa, yang
sejenis kelamin dengan dia, padahal diketahui atau patut disangkanya bahwa anak
itu belum dewasa, dipidana dengan pidana penjara selama lamanya lima tahun.
Dari pasal diatas diketahui bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah
orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa yang
sejenis dengan dia. Dewasa dalam hal ini berarti telah berumur 21 tahun,
atau belum mencapai umur itu tetapi sudah kawin.
Adapun jenis kelamin yang sama berarti laki-laki dengan laki-laki atau
perempuan dengan perempuan.
Mengenai perbuatan cabul
selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada
bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual, misalnya alat kelamin, buah
dada, mulut dan sebagainya. Persetubuhan pun dapat disebut dengan perbuatan
cabul, kecuali perbuatan cabul dalam Pasal 289 KUHP. Pertimbangan Pasal 292
KUHP ini didasarkan atas kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melindungi
kepentingan orang yang belum dewasa, yang menurut keterangan dengan perbuatan
homoseksual ini kesehatannya akan sangat terganggu, terutama jiwanya. Rumusan Pasal 292 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
Unsur-unsur Objektif
a. Perbuatannya perbuatan cabul
b. Si pembuatnya oleh orang dewasa
c. Objeknya pada orang sesama jenis kelamin yang belum
dewasa
Unsur-unsur Subjektif:
a.
Yang diketahuinya
belum dewasa
b.
Yang seharusnya
patut diduganya belum dewasa
Persetubuhan dalam arti
sebenarnya seperti antara perempuan dan lakilaki tidak dapat terjadi dalam
Pasal ini sebab untuk dikatakan sebuah persetubuhan yang sebenarnya haruslah
dengan jenis kelamin yang berbeda. Hal ini dapat didasarkan pada pertimbangan
hukum Hoge Raad yang menyatakan persetubuhan adalah perpaduan antara
alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan
untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk adalam alat kelamin
perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani.
Pengertian persetubuhan ini di
atas berdasarkan aliran klasik, sementara pengertian persetubuhan aliran modern
yang banyak diikuti dalam praktek peradilan sekarang tidak mensyaratkan
keluarnya air mani, yang terpenting telah diperoleh kenikmatan oleh salah
satunya atau kedua-duanya. Sesuai dengan asas tidak ada pidana tanpa kesalahan,
maka unsur kesalahan yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP berupa (1) kesengajaan
yakni diketahuinya temannya sesama jenis berbuat
cabul itu belum dewasa; dan (2) berupa culpa, yakni sepatutnya harus diduganya
belum dewasa. Mengenai sepatutnya harus diduga berdasarkan keadaan fisik dan
psikis ciri-ciri orang belum dewasa atau yang umurnya belum 21 tahun.
BAB
III
MASALAH
LGBT MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
- Perspektif
Hukum Positif di Indonesia terhadap LGBT
Pada hakikatnya norma hadir dan berkembang dalam
manusia yang hidup bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu
memerlukan orang lain untuk keberlangsungan hidup. Agar kehidupan dapat berjalan
dengan lancar, maka manusia membutuhkan berbagai aturan tertentu yang tidak
semua orang dapat untuk melakukan perbuatan sesuka hatinya. Apabila keinginan
yang dimiliki seseorang dipaksakan terhadap orang lain, maka akan terjadi
benturan dengan keinginan dari pihak lain.
Dalam hal ini LGBT bukan merupakan fenomena baru
yang terjadi pada lingkungan masyarakat Indonesia melanggar norma yang berlaku
di Negara ini. Diantaranya pelaku LGBT telah melanggar norma agama, norma
kesusilaan, norma hukum, norma adat. Meskipun dalam hal ini Indonesia bukan
merupakan Negara yang konsen terhadap agama tertentu, tetapi ajaran agama
dijunjung tinggi bahkan agama mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dapat disimak dalam sila ke satu pada dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Indonesia juga memiliki kebegaraman adat istiadat,
dimana masing-masing memiliki norma-norma yang harus dipatuhi, meskipun ada
beberapa daerah yang menganggap perilaku LGBT dalam hal ini adalah gay dianggap
merupakan adat dari daerah tersebut yaitu ada pada adat-istiadat warok dan gemblak dari Ponorogo, Calalai (perempuan yang maskulin), Calabai (laki-laki yng feminism), Bissu (pelaku ritual Transgender) yang merupakan gender yang berlaku
pada adat Bugis di Sulawesi Selatan.
LGBT merupakan
akronim dari “Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender”. Istilah ini digunakan
circa tahun 90 an untuk menggantikan frase “komunitas gay”. Setiap komunitas
yang disebut dan terkandung dalam akronim di atas tersebut, pada praktiknya,
telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing.
Bagaimana mereka bersekutu dan menyimbolisasikannya lewat bendera pelangi
adalah hal yang telah melewati proses yang sangat panjang. Perkembangan LGBT di
Indonesia walaupun tidak dapat dikatakan cukup pesat,namun masyarakat
makinmenyadari akan adanya keberadaan kaum LGBT disekitar mereka .Data yang
dilansir oleh portal gaya nusantara.
Secara konkrit perlawanan terhadap LGBT keluar dari
berbagai kalangan di Indonesia. LGBT sudah sepatutnya untuk dilarang apabila mereka
melakukan tindakan-tindakan yang memalukan, seperti menunjukkan keintiman atau
rasa kasih sayang mereka di tempat-tempat umum. Majelis Ulama Indonesia pun
mendorong Pemerintah untuk mengilegalkan hubungan dan ketertarikan sesama
jenis. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf
Kalla Fenomena dan isu seputar LGBT telah menjadi perbincangan yang sangat
hangat di banyak kalangan masyarakat dan khalayak ramai, terutama di
negara-negara berkembang yang mana masih berpendapat bahwa orientasi seksual
adalah sesuatu yang masih asing dalam kebudayaan mereka.
Dalam norma hukum yang dilanggar oleh pelaku LGBT
diantaranya adalah UU perkawinan dimana sudah tertera jelas bahwa dalam
perkawinan adalah antara seorang laki-laki dan wanita. Selain itu dalam
undang-undang perkawinan ada ketentuan yang harus tercatat bahwa perkawinan
dicatat menurut undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini di Indonesia
pencatatan perkawinan diatur dalam undang-undang administrasi kependudukan No
23 Tahun 2006 jo.UU No 24 Tahun 2014, namun terdapat kelemahan dalam pasal 68
ayat 2 disitu tidak disebutkan mengenai jenis kelamin, hal ini dapat memberikan
ruang bagi mereka pelaku LGBT.
Indonesia bukan Negara liberal. Tidak ada agama yang
melegalkan hubungan sesama jenis karena jelas sekali pengaruhnya tidak baik
bagi masing-masing manusia maupun kehidupan bangsa ini. Dan karakter bangsa
Indonesia yang disebut Ketimuran cenderung tidak menerima dan memandang
negative para pelaku LGBT.
Taat pada norma yang berlaku di Indonesia merupakan
konsesi patriotism yang paling utama sebagai sendi-sendi perilaku
konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan,
ketertiban umum dan kepastian hukum.
Yang kita ketahui kenyataannya kajian hukum tidak
hanya tentang norma yang berlaku tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang
berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum dan pengawasan hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan
hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur,. Sehingga, selalu ada ruang
bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk
terus eksis dikancah kajian atau pendapat hukum.
Sesungguhnya penyebaran ini bukanlah sesuatu yang
instan saja namun telah didorong dan berakar sejak lama. Terlepas dari
penerimaan masyarakat terhadap kaum LGBT yang terjadi di dunia barat, identitas
homoseksual baru eksis di kota-kota besar di Indonesia pada beberapa puluh
tahun abad ke 20. Walaupun rasanya masih sangat baru, pada dasarnya eksistensi homoseksualitas
yang terekstensi dari tradisi “perwariaan‟
atau perbencongan ini telah berabad-abad lamanya hadir dan secara
menyeluruh diterima sebagai bagian dari kultur Indonesia.
Bukan hanya itu, dengan dukungan dari USAID dan UNDP
bersama 20 organisasi LGBT Indonesia lainnya, seperti Forum LGBTIQ, GAYa Nusantara,
Arus Pelangi, dan lain-lain, dewasa ini sangat mendukung terdapatnya
kondusifitas bagi perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia bagi kaum
LGBT Indonesia. Perilaku
LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan
homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima
sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi keluarga.
Perilaku LGBT pada gilirannya akan
mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang
karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar
kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada
satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang
membenarkan perilaku demikian.
Memang selalu ada celah bagi para pendukung gerakan LGBT
untuk menggunakan hak suara dan berpendapatnya untuk mencoba memusyawarahkan
kepercayaannya untuk mencapat mufakat yang dilandaskan oleh semangat
kekeluargaan sebagai personifikasi atau inkarnasi dari sila ke-4. Namun, kita
tidak boleh lupa juga bahwa sesungguhnya sila ke-4 pancasila diliputi dan
dijiwai oleh sila-sila pendahulunya, sila ke-1 hingga sila ke-3.
Karena pada akhirnya, sila ke-5
atau “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanya dapat dicapai apabila manusia
Indonesia telah menjiwai sila-‐
sila sebelumya. Proses penjajakan meligitimasi LGBT, walaupun rasanya masih
jauh dan panjang hingga dapat terealisasi, tidak ada salahnya untuk dilalui dan
ditanggapi tanpa emosi yang berlebihan. Karena pada dasarnya, penjajakan
tersebut merupakan cerminan dari sila ke-4 yang mengutamakan musyawarah untuk
mufakat guna mengembangkan inkarnasi sila ke-5 Pancasila, Indonesia yang
berbudi luhur, sejahtera, serta merata dalam berkeadilan sosial.
Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo,
dibangun dalam suatu tatanan integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat
organis. Setiap diri kita adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model
kemanusiaan kita sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan
jelasnya garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah
jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan
pada 1945.
Beragam tanggapan serta dengan beragam landasan yang
mendasari opini-opini mengenai pro dan kontra terhadap kaum LGBT. Mereka yang pro menyatakan, bahwa negara dan
masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki,
perempuan, transgender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta
sesama jenis (homoseksual). Sebaliknya, mereka yang kontra menyatakan, bahwa
negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya
preventif terhadap gejala LGBT yang akan membahayakan generasi masa depan
Indonesia. Oleh sebab itulah, posisi strategis pemerintah dalam hal ini sangat
diperlukan untuk menangani polemik LGBT secara langsung agar tak terjadi
disintegrasi bangsa.
Sejauh ini hukum nasional Indonesia tidak
mengkriminalisasikan LGBT. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan
seksual pribadi dan hubungan homoseksual non-komersial antara orang dewasa yang
saling bersetuju. Hal ini berarti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
tidak menganggap perbuatan LGBT sebagai suatu tindakan kriminal; selama tidak
melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik; antara lain hukum yang mengatur
mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan
pemerkosaan.
Di
Indonesia hubungan sesama jenis, baik dengan perempuan atau laki-laki, tidak
dilarang jika mengacu pada KUHP pasal 292 yang berbunyi “orang dewasa yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”
Secara eksplisit menyatakan pelarangan
hubungan sesama jenis, jika dilakukan dengan anak dibawah umur.
Perbuatan
‘cabul’ diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan
(kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin. Diantaranya seperti cium-ciuman, meraba-raba alat kemaluan, meraba
buah dada, dan onani ke dalam perbuatan ini. Persetubuhan juga termasuk, tetapi
dalam undang-undang diatur tersendiri. Yang dilarang dalam Pasal 292 bukan saja
memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk
membiarkan dilakukan
pada dirinya perbuatan cabul.
Kelemahan pasal ini dua orang semua belum dewasa atau dua orang
semua sudah dewasa bersama-sama melakukan perbuatan cabul,
tidak dihukum menurut pasal ini, oleh karena yang diancam
hukuman ini perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa. Agar dapat dihukum menurut pasal ini,
orang dewasa itu harus tahu atau setidak-tidaknya patut menyangka bahwa
temannya berbuat cabul itu belum dewasa.
Perumusan Pasal
292 KUHP mempunyai unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte
culpa. Artinya, orang dewasa tahu (unsur dolus) atau sepatutnya ia dapat
menduga (unsur culpa). Lamintang menegaskan unsur subjektif itu membawa
konsekuensi pengadilan harus dapat membuktikan adanya pengetahuan pelaku atau
setidak-tidaknya dugaan pelaku bahwa pasangannya melakukan perbuatan cabul
belum dewasa. Kalau tidak dapat dibuktikan tidak ada alasan bagi hakim
menghukum pelaku.
Persepsi dari beberapa kalangan yang menjustifikasi bahwa
penganut LGBT melakukan tindak pidana dibeberapa kasus misalnya pencabulan,
pelecehan seksual, pornografi, pelacuran, kejahatan pemerkosaan yang ditengarai
pelakunya adalah penganut LGBT, maka mereka harus diadili berdasarkan orientasi
seksualnya, bukan berdasarkan dari tindak kriminal apa yang sudah mereka
lakukan. Sebagai pelaku tindak pidana penganut LGBT mendapatkan hukuman bukan
berdasarkan orientasi seksualnya, namun tetap berdasarkan perbuatan/tindak
pidana apa yang mereka lakukan. Jika dilihat secara objektif, tidak ada manusia
yang ingin menyimpang, apalagi terlahir dalam keadaan dua fisik. Dia yakin,
semua manusia yang dilahirkan ke dunia ingin menjalani kehidupan mereka secara
normal. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan penyakit,
bukan bagian dari tindak pidana. Karena itu, negara, termasuk seluruh
masyarakat Indonesia, punya tanggung jawab untuk menyembuhkan penyakit LGBT
tersebut.
Dalam merumuskan konsesi kehidupan bernegara,
konstitusi kita tidak memuat konteks berpikir sebagaimana dalam tertuang dalam
konstitusi Amerika ataupun seperti Preamble
UN Charter. Sebaliknya, pembukaan konstitusi kita memuat dengan konteks
berpikir yang berbeda: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar.
Kita sebagai bangsa, antara anak dan orangtua, guru dan
murid, istri dan suami, kakek dan nenek, sepupu, paman dan bibi, saudara, dan
tetangga. Bangsa ini adalah bagian dari keutuhan diri kita sendiri. Kita sebagai
kesatuan masyarakat organis yang meraih pencerdasan, bukan sekedar meraih
pemenangan pribadi-pribadi. Oleh karenanya, istilah hak asasi sebagaimana
dimaksudkan dalam terminologi Barat, tidak pernah masuk dalam alternatif luaran
diskusi.
Cara berpikir kita dalam menghargai setiap generasi adalah dengan
memposisikan jati diri pada tempatnya, yakni bak seorang anak yang mendapatkan
tempat tumbuh kembang yang baik. Cara berpikir kita bukan seperti dalam
mukadimah Piagam PBB yang memberikan apa-apa yang diingini setiap orang per
orang. Hal semacam itu hanya akan membawa pada kemunduran generasi, karena
kebanyakan keinginan hanya berisi kerakusan yang menghancurkan.
Kelompok LGBT di bawah payung “Hak
Asasi Manusia” meminta masyarakat dan Negara untuk mengakui keberadaan
komunitas ini; bila kita melihat dari Konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal
28J ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Makna: Setiap orang itu harus saling menghormati satu dengan
yang lain dan tidak ikut campur dalam hak-hak orang tersebut itulah pertandanya
kita bernegara dan berbangsa
Kemudian dalam ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
Makna: Setiap orang diharuskan untuk selalu mematuhi
peraturan yang telah diberlakukan undang-undang. Dimana bagi siapa yang tidak
mematuhi peraturan atau melanggar peraturan undang-undang harus dikenakan saksi
yang lebih berat dari sebelumnya. Agar tidak terjadi pelanggaran
perundang-undangan.
Dalam konstitusi Indonesia
memandang HAM memiliki batasan, di mana batasannya adalah tidak boleh
bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum;
Indonesia memang bukan Negara yang berdasarkan Agama namun Pancasila jelas
menyatakan dalam sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga nilai-nilai
agama menjadi penjaga sendi-sendi konstitusi dalam mewujudkan kehidupan
demokratis bangsa Indonesia.
Indonesia
sebagai salah satu negara hukum (Rechtstaat)
menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28
E ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya". Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Begitu
juga ditegaskan pula dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 70 yang menyatakan sebagai berikut
“Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Dan Pasal 73 UU HAM yang menyatakan “Hak dan kebebasan
yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan
undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan
bangsa”.
Pembatasan-pembatasan
HAM memungkinkan demi penghormatan kepada hak asasi manusia oleh karenanya
Negara hadir dalam melakukan batasan-batasan tersebut untuk kepentingan bangsa.
Memang benar, setiap manusia mempunyai
kebebasan masing–masing, tetapi jika ditelaah lebih dalam bahwa kebebasan yang
dimiliki berbanding lurus dengan batasan yang harus dipenuhi pula, seperti
apakah melanggar agama, kesusilaan, kepentingan umum, hingga keutuhan bangsa.
Hak asasi manusia tidak bisa dijadikan kedok
untuk mengganggu hak orang lain atau kepentingan publik. Tidak ada argumen yang
relevan untuk menghapus larangan pernikahan sesama jenis dengan dasar
penghapusan diskriminasi. Gay dan lesbian bukanlah kodrat manusia melainkan
penyakit sehingga tidak relevan mempertahankan kemauan mereka yakni legalisasi
pernikahan sesama jenis atas dasar persamaan. Persamaan diberlakukan dalam hal
pelayanan terhadap orang yang berbeda suku, warna kulit, dan hal lain yang
diterima di masyarakat. Gay dan lesbian perlu diobati agar normal kembali
sehingga tidak merusak masyarakat dan oleh karenanya kewajiban negara untuk
mengobati mereka bukan melestarikannya.
Perkawinan bertujuan salah
satunya melestarikan umat manusia. Sangat kontras bila dibandingkan kaum LGBT
yang penyuka sesama jenis. Bila dilegalkan, LGBT akan berdampak pada timbulnya
berbagai masalah. Mulai dari menurunnya angka kelahiran karena sudah pasti
sesama jenis tak bisa menghasilkan keturunan.
Hak untuk menikah dan berkeluarga bukan
ditujukan untuk menjustifikasi pernikahan sesama jenis. Hukum perkawinan kita
mendefinisikan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Oleh
karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu
ikatan perkawinan Pasal 1 UU Nomor
1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin”
yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan
sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan.
Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah
pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi
ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara. Jadi, secara jelas pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan,
perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat
dalam payung hukum Indonesia.
Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan
bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan
satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang
dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.
Semakin menguatkan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan
gangguan keberfungsian sosial yang memiliki kriteria gangguan keberfungsian
sosial, diskriminasi, marginalisasi, dan berperilaku seks menyimpang.
Sebagai pelaku LGBT
mereka sangat memperjuangkan agar pemerintah memberikan ruang kebebasan kepada
mereka, sehingga pada akhirnya mereka menginginkan keberadaan mereka dinaungi
oleh hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga masyarakat tidak lagi
mengucilkan keberadaannya dan memberikan kesempatan serta hak-hak yang sama
dengan gender yang lain, terlebih dalam hal pernikahan, karena menurut mereka
apa yang mereka lakukan adalah tidak melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang yang berlaku di Indonesia. Dan perundang-undangan yang berlaku
secara Internasional.
Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab LGBT tersebut, di antaranya :
1. Faktor keluarga
Didikan yang diberikan
oleh orang tua kepada anaknya memiliki peranan yang penting bagi para anak
untuk lebih cenderung menjadi seorang anggota LGBT daripada hidup normal
layaknya orang yang lainnya.
Ketika seorang anak
mendapatkan perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, maka
pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan keluarga serta
timbulnya rasa benci si anak pada orang tuanya. Sebagai contoh adalah ketika
seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau tindak kekerasan
lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain, maka akibat dari trauma
tersebut nantinya anak perempuan tersebut bisa saja memiliki sifat atau sikap
benci terhadap semua laki-laki.
Akibat sikap orang tua yang
terlalu mengidam-idamkan untuk memiliki anak laki-laki atau perempuan, namun
kenyataan yang terjadi justru malah sebaliknya. Kondisi seperti ini bisa
membuat anak akan cenderung bersikap seperti apa yang diidamkan oleh orang
tuanya.
Orang
tua yang terlalu mengekang anak juga bisa malah menjerumuskan anak pada pilihan
hidup yang salah. Kurangnya didikan perihal agama dan masalah seksual dari
orang tua tua kepada anak-anaknya. Orang tua sering beranggapan bahwa
membicarakan masalah yang menyangkut seksual dengan anak-anak mereka adalah
suatu hal yang tabu, padahal hal itu justru bisa mendidik anak agar bisa
mengetahui perihal seks yang benar.
2. Faktor Lingkungan dan pergaulan
Lingkungan serta
kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor penyebab yang
paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas
LGBT. beberapa point terkait dengan faktor ini adalah :
Seorang anak yang dalam
lingkungan keluarganya kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, serta pendidikan
baik masalah agama, seksual, maupun pendidikan lainnya sejak dini bisa
terjerumus dalam pergaulan yang tidak semestinya. Di saat anak tersebut mulai
asik dalam pergaulannya, maka ia akan beranggapan bahwa teman yang berada di
dekatnya bisa lebih mengerti, menyayangi, serta memberikan perhatian yang lebih
padanya. Dan tanpa ia sadari, teman tersebut justru membawanya ke dalam
kehidupan yang tidak benar, seperti narkoba, miras, perilaku seks bebas, serta
perilaku seks yang menyimpang (LGBT).
Masuknya budaya-budaya
yang berasal dari luar negeri mau tidak mau telah dapat mengubah pola pikir
sebagian besar masyarakat kita dan pada akhirnya terjadilah pergeseran
norma-norma susila yang dianut oleh sebagian masyarakat. sebagai contoh adalah
perilaku seks yang menyimpang seperti seks bebas maupun seks dengan sesama
jenis atau yang lebih dikenal dengan istilah LGBT.
3. Faktor genetik
Dari beberapa hasil
penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya
homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang menyimpang lainnya bisa berasal
dari dalam tubuh si pelaku yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga
terdahulu. ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui terkait masalah ini,
seperti :
Dalam dunia kesehatan,
pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY dalam
tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX. Akan tetapi dalam
beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom
XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan satu kromosom.
Akibatnya, lelaki tersebut bisa memiliki berperilaku yang agak mirip dengan
perilaku perempuan.
Keberadaan hormon
testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap perilaku
LGBT. Seseorang yang memiliki kadar hormon testosteron yang rendah dalam
tubuhnya, maka bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan
perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku
perempuan.
4. Faktor Akhlak dan Moral
Faktor moral dan akhlak
yang dimiliki seseorang juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku
LGBT yang dianggap menyimpang. Ada beberapa hal yang dapat berpengaruh pada
perubahan akhlak dan moral yang dimiliki manusia yang pada akhgirnya akan
menjerumuskan manusia tersebut kepada perilaku yang menyimpang seperti LGBT,
yaitu :
Iman yang lemah dan
rapuh. Ketika seseorang memiliki tingkat keimanan yang lemah dan rapuh, besar
kemungkinan kondisi tersebut akan membuatnya lemah dalam hal mengendalikan hawa
nafsu. Kita tahu bahwa iman adalah benteng yang paling efektif dalam diri
seseorang untuk menghindari terjadinya perilaku seksual yang menyimpang. Jadi
dengan lemahnya iman, maka kekuatan seseorang untuk dapat mengendalikan hawa
nafsunya akan semakin kecil, dan itu nantinya bisa menjerumuskan orang itu pada
perilaku yang menyimpang, salah satunya dalam hal seks. Semakin banyaknya
rangsangan seksual. Banyak contoh yang bisa kita ambil sebagai pemicu
rangsangan seksual seseorang. Misalnya semakin maraknya VCD porno, majalah
porno, atau video-video lain yang bisa kita akses melalui internet.
5. Faktor Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Agama
Faktor internal lainnya
yang menjadi penyebab kemunculan perilaku seks menyimpang seperti kemunculan
LGBT adalah pengetahuan serta pemahaman seseorang tentang agama yang masih
sangat minim. Di atas dikatakan bahwa agama atau keimanan merupakan benteng
yang paling efektif dalam mengendalikan hawa nafsu serta dapat mendidik kita
untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Untuk itulah,
sangat perlu ditanamkan pengetahuan serta pemahaman agama terhadap anak-anak
sejak usia dini untuk membentuk akal, akhlak, serta kepribadian mereka.
Dalam hal ini
upaya-upaya yang dapat dilakukan agar pelaku LGBT tidak mengulangi perilaku
penyimpangan seksual dan penyembuhan tidak hanya berupa upaya dari pelaku
sendiri tapi juga melibatkan lingkungan, keluarga dan masyarakat sekitar.
Misalnya bagi pelaku LGBT yang ingin kembali memiliki kehidupan normal, pihak
keluarga terutama harus lebih mengawasi dan memberikan dukungan kepada pelaku,
begitu juga masyarakat disekitar agar tidak mengucilkan pelaku, namun berupaya
mengarahkan serta memberikan dukungan kepercayaan diri kepada pelaku, terlebih
lagi bagi tokoh agama dan tokoh masyarakat yang harus membantu membimbing
mengarahkan bagi pelaku untuk kembali ke jalan yang benar, melibatkan pelaku
dalam kegiatan-kegiatan positif.
Hukum nasional di
Indonesia tidak mengatur secara eksplisit tentang perilaku LGBT, sehingga
menurut penulis pemerintah perlu memberikan ruang tersendiri terhadap perilaku
penyimpangan seksual (LGBT) dengan cara membuatkan undang-undang tersendiri
atau menyisipkan beberapa pasal dalam UU Pornografi. Yang perlu disisipkan
dalam UU tersebut yaitu berupa larangan perilaku LGBT, ketentuan pidana , peran
serta masyarakat, perlindungan bagi korban, serta upaya penyembuhan orientasi
seksual (rehabilitasi).
- Perlindungan
Hukum terhadap Korban dari Perilaku LGBT
Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang
beragama dan berbudaya. Ada dua hal yang menghimpit kaum LGBT, yaitu: antara
norma dan keadilan. Bagi kaum LGBT norma dan keadilan tidak dapat serta merta
berjalan beriringan, keberadaan mereka yang dianggap berbeda oleh masyarakat
“normal” lainnya dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan budaya. Bagi
sebagian besar masyarakat individu atau kelompok orang yang kebiasaan dan
budayanya tidak sesuai dengan norma tidak berhak untuk mendapatkan keadilan
dalam setiap segi kehidupan mereka. Hal inilah yang pada akhirnya timbul sikap
diskriminatif dan kekerasan yang seringkali ditujukan kepada kaum LGBT, tidak
hanya dari masyarakat Namun juga aparat penegak hukum.
Berbicara kekerasan
seksual yang kerap dialami kaum perempuan dan anak-anak, rupanya, kaum Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) juga kerap menjadi korban kekerasan
seksual. Sangat tinggi angka pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual yang
menjadikan penganut LGBT sebagai korbannya. Selain dianggap minoritas, banyak
masyarakat yang menganggap bagian dari mereka merupakan kaum yang harus dijauhi
dan dimusnahkan, sehingga mereka kerap kali melakukan perbuatan tidak pantas
dengan terang-terangan, misalnya bullying
didepan umum pada waria.
Pemerintah sebenarnya telah memberikan
perlindungan hukum terhadapa korban LGBT yang tertuang dalam UU No 13 Tahun 2006 jo. UU no 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 6 (1)
”Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana
terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana
penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan
berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak
mendapatkan: a.bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan
psikologis.
Namun
seperti kita ketahui dilapangan bahwa yang tertera dalam pasal tersebut belum
terlaksana sesuai dengan yang tercantum. Meskipun dalam kasus ini berat
menentukan mana yang menjadi korban dan mana yang menjadi pelaku. Karena bisa
saja dari pelaku yang berkilah seolah-olah dirinya adalah korban. Disinilah
tugas pemerintah untuk melakukan pemeriksaan lebih dalam agar dapat menemukan
siapa yang sebenarnya
menjadi pelaku dan korban.
Dalam pasal 6
tersebut juga disebutkan bahwa seseorang yang menjadi korban berhak mendapatkan bantuan medis dan
bantuan psikososial dan psikologis berdasarkan keputusan LPSK(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) artinya
untuk menemukan korban atau pelaku fungsi LPSK sangat berperan, agar
bantuan dari pemerintah tepat disampaikan.
Kemudian dalam
pasal 5 UU No 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial disebutkan
”Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada
mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial: a. kemiskinan; b. ketelantaran; c. kecacatan; d.
keterpencilan; e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana;
dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. “
Kita lihat
sebagaimana yang terjadi dilapangan dan kehidupan sehari-hari, belum ada upaya
dari pemerintah untuk menjalankan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Seharusnya pemerintah bisa memulai dengan menyediakan tenaga psikolog yang di
khususkan untuk menangani korban yang ditempatkan di fasilitas-fasilitas
kesehatan yang mudah dijangkau oleh para korban dan dalam hal ini semuanya
harus difasilitasi oleh Negara.
Beberapa peristiwa tindak penyimpangan orientasi
seksual dilakukan oleh kalangan LGBT melalui praktik pornografi dan adopsi
anak. Mereka menyebarkan perilaku LGBT tersebut melalui media internet sehingga
diharapkan menjadi sesuatu yang lazim dan legal di tengah masyarakat. Semakin
banyaknya pornografi penyebaran LGBT tersebut jika tidak dicegah akan
menimbulkan efek penyebaran LGBT yang cepat. Melalui kamuflase adopsi anak,
para pelaku LGBT
juga leluasa mempraktikkan perilaku LGBT.
Untuk mencegah
hal tersebut, negara telah menetapkan pencegahan penyimpangan orientasi seksual
dan menjelaskannya dalam Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi dan
telah memasukkan istilah “persenggamaan yang menyimpang” sebagai salah satu
unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain
“persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral
seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.”
Namun meskipun upaya pencegahan
secara formal telah dilakukan oleh Negara, namun penyebaran LGBT akan tetap
dapat terjadi jika diri dan lingkungan terdekat termasuk keluarga menjadi pintu
penyebaran LGBT.
Kemudian
upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan diri
korban LGBT khususnya bagi anak dibawah umur yang mengalami traumatik yaitu
tidak melakukan tindakan bullying,
komunikasi antara orang tua dan anak yang terbuka, menciptakan suasana
lingkungan yang nyaman, memutus terhadap lingkungan luar serta media sosial
yang negatif, keluarga sebagai media pendengar yang baik dan mengarahkan kepada
kegiatan-kegiatan positif yang menyibukkan sehingga korban tidak mengingat
kembali hal yang pernah dialami pada dirinya dimasa lalu. Bimbingan ajaran agama
kepada korban agar korban lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Anak yang
menjadi korban jangan sampai terisolir oleh lingkungan luar, tapi diarahkan
kepada lingkungan dan pergaulan yang lebih baik. Dan serta merta terus
memberikan dukungan kepada korban.
Upaya pencegahan
agar jangan sampai terjerumus menjadi pelaku LGBT.
1.
Menjaga Pergaulan
Dimana seorang wanita tidak baik
membiasakannya diri berteman dengan kaum laki-laki, karena dampaknya akan
mempengaruhi psikologisnya yang nantinya berkarakter dan berpenampilan seperti
laki-laki. Sehingga kondisinya,
ketika dalam sebuah keluarga ada banyak anak laki-laki, akan tetapi hanya ada
satu anak perempuan. Maka sang ibu harus mengambil peran yang lebih besar,
untuk memasukan karakter seorang wanita padanya, sehingga hal ini membuat anak
perempuan agar tidak kehilangan jati dirinya.
2.
Tutup Segala Celah Pornografi
Sudah banyak diketahui bahwasanya
penyebaran LGBT ini identik dengan sesuatu yang bersifat pornografi. Seseorang
umumnya bisa “terjangkit” Pornografi karena penyalahgunaan teknologi seperti
gadget dan lainnya. Penting untuk setiap pihak, baik itu orang tua maupun pihak
terkait lainnya mencounter dan menangkal dari dampak buruk penyalahgunaan
teknologi ini.
3.
Adakan Kajian atau Seminar Tentang Bahaya LGBT
Anak-anak yang sudah masuk masa SMP
dan SMA telah dapat diberikan edukasi dari kegiatan-kegiatan formal seperti
seminar dan semacamnya. Penting untuk segala pihak yang berkepentingan agar
mengadakan dan mendorong anak-anak muda untuk mengikuti seminar tentang bahaya
LGBT, sehingga mereka bisa lebih mawas diri dari resiko terkena prilaku LGBT.
Sangat diharapkan agar Perguruan Tinggi bisa
secara resmi untuk mendirikan pusat kajian dan penanggulangan dari propaganda
LGBT yang saat ini masih terus disebarkan dengan gencar.Aktivitasnya juga
termasuk memberikan konsultasi psikologi dan pengobatan untuk mereka yang
terkena prilaku LGBT.
4.
Peran Media Massa
Sangat diharapkan agar media massa
menampilkan sesering mungkin untuk menyebutkan kisah-kisah mereka yang awalnya
terkena prilaku LGBT, kemudian bisa menjadi seorang yang normal kembali. Media
Massa hendaknya membangkitkan rasa optimisme pada orang-orang, bahwa mereka
yang menjadi korban LGBT, ternyata bisa disembuhkan.
5.
Peran Pemerintah
Pemerintah diharapkan melakukan
peninjauan peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya hubungan
seksual yang sejenis, dan mencegah penyebaran pornografi secara umum.
Pemerintah dan DPR perlu untuk
segera membuat peraturan untuk mencegah dan menutup celah daru usaha kelompok
tertentu yang ingin melegalisasi LGBT, seperti yang terjadi itu dari Amerika
dan negara-negara lainnya.
Dapat juga masyarakat Indonesia
yang memiliki kemampuan, agar peduli pada pemasalahan ini dengan mengajukan
gugatan judicial review terhadap pasal-pasal KUHP yang masih lemah dalam
pencegahan kejahatan seksual. Pemerintah
bersama masyarakat harus bergerak cepat untuk pencegahan LGBT, serta juga
memberikan penyuluhan tentang LGBT.
6.
Peran Para Tokoh, Ulama dan Ahli Pendidikan
Masjid-masjid besar diharapkan
untuk membuka klinik LGBT, untuk memberikan penyuluhan keagamaan kepada
penderita LGBT. Peran para ulama, da’i dan ahli pendidikan sangat penting agar
memberikan pendidikan dan nesehat yang ampuh agar para penderita LGBT bisa
kembali normal. Para
tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, dapat melakukan pendekatan
kepada para pemimpin media massa yang terutama televisi, untuk mendorong agar
media massa ikut berperan memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar
terhindar dari LGBT.
7.
Peran Masyarakat
Masyarakat hendaknya melakukan
pendekatan yang baik dan tidak memandang miring para pelaku LGBT, karena
bagaimanapun pelaku LGBT merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak
sebagai manusia. Yang perlu dilakukan adalah menyadarkan para pelaku LGBT dari
kekeliruannya. Orang-orang yang
memiliki rezeki lebih bisa memberikan beasiswa secara khusus kepada calon-calon
doktor yang menulis disertasi dan bersungguh-sungguh dalam penanggulangan LGBT.
Hal ini nantinya akan sangat membantu
masyarakat, agar bisa dengan baik dan benar untuk berhadapan dengan pelaku
LGBT, dan menyadarkannya agar kembali menjadi manusia yang normal.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perspektif
hukum positif di Indonesia terhadap LGBT tidak memiliki landasan hukum untuk
mendapatkan pengakuan bagi keberadaan mereka ditengah kehidupan masyarakat. Terkait
dengan Hak asasi manusia yang dijadikan payung bagi penganut LGBT bernaung
tidak dapat seutuhnya dijadikan sebagai pelindung. Perilaku LGBT juga dianggap
melanggar moralitas bangsa yang menganut paham ketimuran. Sehingga perilaku
LGBT tersebut dianggap tidak sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.
2.
Perlindungan
hukum terhadap korban dari perilaku LGBT sebenarnya sudah ada, namun yang terjadi dilapangan belum sepenuhnya mampu
melaksanakan apa yang tercantum di dalam undang-undang tersebut.
B.
Saran
1.
Sebaiknya pemerintah
Indonesia melakukan pertemuan antara para pemuka agama maupun pemuka adat yang
ada di Indonesia untuk mendiskusikan serta mencari solusi dalam mencegah atau
menangani serta memberikan terapi ataupun rehabilitasi bagi mereka yang
menganut perilaku LGBT dan kemudian mensosialisasikan kepada masyarakat luas
mengenai ketetapan yang sudah ditentukan bersama.
2.
Seharusnya peraturan yang sudah ada dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, tidak hanya sekedar tercantum dalam bentuk-bentuk peraturan
saja karena negara tidak bisa lepas
tangan dan berlindung di balik penghargaan terhadap hak asasi warga negara.
Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Pada Jurnal Strada 3.1 (2014) diunduh Tanggal 10 Juli 2018.
Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Soetjiningsih, Tumbuh
Kembang Remaja dan Permasalahannya,
Jakarta: CV. Sagung Seto,
Margareth W Matlin. The Psychology of
Women. PraMedia Global USA. Cet 7Hal 282
A.Muiz Aziz. LGBT, Ditinjau dari Aspek Sosiologis,Hukum, HAM & Pancasila.
Forum Ilmiah 2017