Kamis, 16 September 2021

Sepucuk Surat untuk Semesta

Sepucuk Surat untuk Semesta
 
 
 
hai semesta...
kita tidak sedang bercanda kan?

Sabtu, 21 November 2020

Social Experience

 Memulai adalah suatu hal yang paling sulit, sesederhana memulai bangun pagi. Begitu pula ketika memulai hal baru lainnya, mempelajari hal baru. Entah semenjak kapan aku lupa tepatnya, memulai untuk mengamati hingga mempelajari "pola" yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya. Aku tidak memiliki kompetensi dalam hal ini, belum ada basic apapun. Semuanya terjadi begitu saja, berlalu begitu saja. Menyadarinya pun setelah seorang sahabat yang menyatakan kalau aku memiliki pengalaman yang banyak tentang perilaku "pola" itu.

Perkenalan dengan orang-orang baru, menahan diri untuk tidak memotong pembicaraan orang lain, memberikan manusia lain kesempatan untuk meng"aku"kan dirinya, mengamati sambil tersenyum manis, di akhir menyimpulkan secara singkat mengenai siapa, apa yang terjadi, apa yang sedang dialami lawan biacara ataupun kebohongan-kebohongan yang dikemas secara aesthetic. 

Mempelajari manusia bersikap dengan manusia lainnya sangatlah menyenangkan, terlebih sejak aku mulai menyadari banyak hal yang bisa aku pelajari. Beberapa manusia yang aku temui melakukan "pola" yang mirip bahkan identik, hal ini mudah sekali dipelajari ketika kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah pengalaman kejadian-kejadian sebelumnya. Semua tersimpan dimemori dan pada saat diperlukan, memori itu bisa di re-call .

Sangat kagum pada mereka yang memiliki kemampuan membungkus kebohongan secara aesthetic layaknya pemain sinetron atau aktor peraih pengahrgaan kelas dunia. Sangat indah, rapi, menjiwai dan berhasil mengelabui orang lain. Aku pikir mereka mengutip quotes dari George Washington "cara terbaik menyembunyikan rahasia adalah dengan meletakkannya di tempat umum" atau terinspirasi dari pandangan ahli strategi perang dari China Sun Tzu "persembunyian yang paling aman adalah di tempat yang paling terang". Tapi, tetap saja yang namanya sebuah kebohongan suatu saat akan ketahuan, cepat atau lambat. 

Ketika aku menjadi subjek pengamat, aku hanya akan tersenyum manis dalam hati, dan cukup diam, membiarkan mereka tetap menikmati perannya sebagai seorang aktor dalam film yang diciptakan olehnya. Beda hal jika aku yang menjadi sasaran kebohongannya, aku akan berpura-pura tidak tahu saja, meskipun pernah juga tertipu sepersekian waktu dan pada akhirnya mengetahui skenario apa yang sedang dijalankan oleh manusia lainnya kepadaku.

Yaahh.... namanya hidup kan dinamis, orang terkadang perlu peran-peran tertentu untuk menambah warna-warna dalam hidupnya. Begitupun aku, pernah juga melakukan kebohongan-kebohongan untuk kepentingan-kepentingan aesthetic hidupku. Hahahaa.... dari sini aku belajar untuk tidak menghakimi orang lain, apapun yang dilakukannya, kembalikan ke diri sendiri, jika berada di posisi yang sama, mungkin akan melakukan yang sama atau bahkan lebih parah dari mereka.


life begin after aromatic tea, 

setelah sekian lama tidak mengisi blog pribadi,

duduk menyendiri, terbersitlah inspirasi untuk menulis kembali.

 "Thousand Feet 21 Nov 2020"

Kamis, 08 Agustus 2019

Kampung Cerdik Pemurus Dalam

Berniat untuk mengabadikan hasil ide yang kami rintis bersama sejak 2017 bersama seorang dokter panutan ku yang pada saat itu menjadi ketua PJ UKM di Puskesmas Pemurus Dalam dr.Dewi Dhora Amalia yang saat ini sudah diangkat menjadi kepala puskesmas Teluk Tiram...

Mohon ijin bu dokter Dewi Dhora Amalia, saya share di blog saya, siapa tau bermanfaat untuk orang lain dan menjadi salah satu sumber inspirasi bagi yang berniat untuk mengembangkannya menjadi lebih baik lagi.


KAMPUNG CERDIK PEMURUS DALAM 

OLEH RARIES WIJAYANTI & dr.DEWI DHORA



Kampung Cerdik

A. Analisis Masalah
Berawal dari tahun 2017 Puskesmas Pemurus Dalam mengawal jalannya kelurahan siaga aktif dari SMD dan MMK hingga intervensi bagi masalah prioritas yang terjadi di kelurahan Pemurus Dalam. Pada tahun 2017 dari survey yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Pemurus Dalam, mendapatkan kesimpulan mengenai akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif sudah terpenuhi namun belum maksimal dan sangat diperlukan peran lintas Program dan lintas sektor terkait untuk menyukseskan pencapaian Keluarga Indonesia Sehat. Masalah prioritas atas kesepakatan masyarakat yang diangkat dari hasil SMD dan dibahas dalam MMK adalah Hipertensi yang tidak terkontrol, dan selanjutnya penatalaksanaan yang disepakati bersama oleh wakil masyarakat yang didampingi oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas Pemurus Dalam berupa intervensi pada tahun 2017 dengan melakukan intervensi pembuatan Papan C.E.R.D.I.K yang diletakkan di beberapa titik strategis di wilayah kelurahan Pemurus Dalam. Istilah C.E.R.D.I.K ini disadur dari GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat).

Grafik Hasil SMD Tahun 2017
Sumber.PKM Pemurus Dalam


Berlanjut di tahun 2018, Puskesmas Pemurus Dalam melaksanakan kembali kegiatan SMD-MMK yang mana hasil surveynya menyatakan gambaran yang masih berkaitan dengan Penyakit Tidak Menular (PTM) yang mana dari sini dapat melanjutkan tata laksana papan cerdik di tahun 2017. Pada 2018 ini Puskesmas Pemurus Dalam mengembangkan kembali intervensi pada kelurahan siaga berupa KAMPUNG C.E.R.D.I.K.
CERDIK adalah slogan kesehatan yang setiap hurufnya mempunyai makna yaitu; C=Cek kesehatan secara berkala, E=Enyahkan asap rokok, R=Rajin aktifitas fisik, D=Diet sehat dengan kalori seimbang, I=Istirahat cukup dan K= Kelola stress.

B. Pendekatan Strategis
1. Siapa saja yang telah mengusulkan pemecahannya dan bagaimana inisiatif ini telah memecahkan masalah tersebut?
Berdasarkan pada hasil survey PIS-PK, SMD dan MMK serta pengamatan tertentu yang dilakukan, bukan hanya oleh tenaga kesehatan namun ditambah dengan masukan serta aspirasi dari masyarakat sebagai wujud menghadirkan program unggulan GERMAS ditengah masyarakat.
Dalam hal ini muncul ide untuk pembentukan Kampung Cerdik, yang sebagai inisiator adalah Raries Wijayantidan dibantu olah tim Inovasi dari puskesmas pemurus Dalam.
2. Dalam hal apa inisiatif ini kreatif dan inovatif?
“KAMPUNG CERDIK“ dikatakan kreatif dan sangat inovatif dikarenakan merupakan  cara sederhana dalam hal melakukan pendekatan dengan masyarakat yang berkaitan dengan upaya menurunkan angka penyakit tidak menularDan sampai sekarang belum ditemukan inovasi seperti ini sebelumnya, diharapkan dapat meningkatkan kualitas data survailans penyakit sehingga dapat lebih bermanfaat dalam tindakan promotif dan preventif.
C. Latar Belakang
Kelurahan Siaga adalah kelurahan yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri.
Kelurahan yang dimaksud di sini dapat berarti kelurahan atau negeri atau istilah-istilah lain bagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adapt-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kelurahan Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi, penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, kejadian bencana, kecelakaan, dan lain-lain, dengan memanfaatkan potensi setempat, secara gotong-royong.
Tujuan dari dibentuknya Desa Siaga adalah mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa, menyiapsiagakan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, serta memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Dalam pengembangan Kelurahan Siaga, perlu dilaksanakan dengan membantu/memfasilitasi masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran melalui siklus atau spiral pemecahan masalah yang terorganisasi (pengorganisasian masyarakat), salah satunya dengan menempuh Survey Mawas Diri (SMD) atau Telaah Mawas Diri (TMD) atau Community Self Survey (CSS) yang bertujuan agar pemuka-pemuka masyarakat mampu melakukan telaah mawas diri untuk kelurahannya. Survey ini harus dilakukan oleh pemuka-pemuka masyarakat setempat dengan bimbingan tenaga kesehatan.
Dengan demikian, mereka menjadi sadar akan permasalahan yang dihadapi di kelurahannya, serta bangkit niat dan tekad untuk mencari solusinya, termasuk membangun Poskeskel sebagai upaya mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat kelurahan. Untuk itu, sebelumnya perlu dilakukan pemilihan dan pembekalan keterampilan bagi mereka.
Keluaran atau output dan SDM ini berupa identifikasi masalah-masalah kesehatan serta daftar potensi di kelurahan yang dapat didayagunakan dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan tersebut, termasuk dalam rangka membangun Poskeskel yang berikutnya dibahas lebih lanjut dalam musyawarah masyarakat kelurahan (MMK).
Musyawarah Masyarakat Kelurahan (MMK) adalah pertemuan perwakilan warga kelurahan beserta tokoh masyarakatnya dan para petugas untuk membahas hasil Survei Mawas Diri (SMD) dan merencanakan penanggulangan masalah kesehatan yang diperoleh dari hasil survei mawas diri. Inisiatif penyelenggaraan musyawarah sebaiknya berasal dari tokoh masyarakat yang telah sepakat mendukung pengembangan Kelurahan Siaga. Peserta musyawarah adalah tokoh-tokoh masyarakat setempat. Bahkan sedapat mungkin dilibatkan pula kalangan dunia usaha yang mau mendukung pengembangan Kelurahan Siaga dan kelestariannya (untuk itu diperlukan advokasi)
Tujuan dilaksanakannya Musyawarah Masyarakat Kelurahan diantaranya agar masyarakat mengenal masalah kesehatan di wilayahnya, masyarakat bersepakat untuk menanggulangi masalah kesehatan melalui pelaksanaan kelurahan siaga dan Poskeskel, masyarakat menyusun rencana kerja untuk menanggulangi masalah kesehatan, melaksanakan kelurahan siaga dan poskeskel. Serta temuan lain yang diperoleh pada saat SMD disajikan, utamanya dalah daftar masalah kesehatan, data potensial, serta harapan masyarakat. Hasil pendataan tersebut dimusyawarahkan untuk penentuan prioritas, dukungan dan kontribusi apa yang dapat disumbangkan oleh masing-masing individu / institusi yang diwakilinya, serta langkah-langkah solusi untuk pembangunan Poskeskel dan pengembangan masing-masing Kelurahan Siaga.

GERMAS adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk memasyarakatkan budaya hidup sehat serta meninggalkan kebiasaan dan perilaku masyarakat yang kurang sehat. Aksi GERMAS ini juga diikuti dengan memasyarakatkan perilaku hidup bersih sehat dan dukungan untuk program infrastruktur dengan basis masyarakat.
Program ini memiliki beberapa fokus seperti membangun akses untuk memenuhi kebutuhan air minum, instalasi kesehatan masyarakat serta pembangunan pemukiman yang layak huni. Ketiganya merupakan infrastruktur dasar yang menjadi pondasi dari gerakan masyarakat hidup sehat.
GERMAS mengatasi masalah kesehatan yang masih menjadi sebuah tantangan serius di Indonesia. Kini setidaknya masih ada triple burden atau tiga masalah kesehatan penting terkait pemberantasan penyakit infeksi, bertambahnya kasus penyakit tidak menular dan kemunculan kembali jenis penyakit yang seharusnya telah berhasil diatasi.
Perubahan pola hidup masyarakat yang makin modern menjadi salah satu dasar GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015. Penyakit menular seperti diare, tuberkulosa hingga demam berdarah dahulu menjadi kasus kesehatan yang banyak ditemui kini telah terjadi perubahan yang ditandai pada banyaknya kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, kanker dan jantung koroner.
7 Langkah Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang dikenal dengan C.E.R.D.I.K 
1. Cek Pemeriksaan Kesehatan Secara Berkala
Salah satu bagian dari arti germas sebagai gerakan masyarakat hidup sehat adalah dengan lebih baik dalam mengelola kesehatan. Salah satunya adalah dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin dan tidak hanya datang ke rumah sakit atau puskesmas ketika sakit saja. Langkah ini dapat memudahkan mendeteksi penyakit atau masalah kesehatan lebih dini.
2. Enyahkan asap rokok
Merokok merupakan kebiasaan yang banyak memberi dampak buruk bagi kesehatan. Berhenti merokok menjadi bagian penting dari gerakan hidup sehat dan akan berdampak tidak pada diri perokok; tetapi juga bagi orang – orang di sekitarnya. Meminta bantuan ahli melalui hipnosis atau metode bantuan berhenti merokok yang lain dapat menjadi alternatif untuk menghentikan kebiasaan buruk tersebut.
3. Rajin Melakukan Aktivitas Fisik
Perilaku kehidupan modern seringkali membuat banyak orang minim melakukan aktivitas fisik; baik itu aktivitas fisik karena bekerja maupun berolah raga. Kemudahan – kemudahan dalam kehidupan sehari – hari karena bantuan teknologi dan minimnya waktu karena banyaknya kesibukan telah menjadikan banyak orang menjalani gaya hidup yang kurang sehat. Bagian germas aktivitas fisik merupakan salah satu gerakan yang diutamakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan seseorang.
4. Diet dengan Kalori Seimbang
Keinginan untuk makan makanan praktis dan enak seringkali menjadikan berkurangnya konsumsi sayur dan buah yang sebenarnya jauh lebih sehat dan bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa jenis makanan dan minuman seperti junk food dan minuman bersoda sebaiknya dikurangi atau dihentikan konsumsinya. Menambah jumlah konsumsi buah dan sayur merupakan contoh GERMAS yang dapat dilakukan oleh siapapun.
5. Istirahat yang Cukup
Beristirahat yang cukup sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan kurang tidur dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang berarti pada tubuh. Pasalnya, kurang tidur dapat meningkatkan risiko Anda mengalami sejumlah masalah kesehatan yang serius, di antaranya diabetes, penyakit jantung, obesitas, sleep apnea, hingga kematian dini. Lama tidur tujuh sampai delapan jam sebenarnya direkomendasikan hanya untuk orang dewasa, termasuk lansia.
6. Kelola Stres
Bagian penting dari germas hidup sehat juga berkaitan dengan meningkatkan kualitas lingkungan; salah satunya dengan lebih serius menjaga kebersihan lingkungan. Menjaga kebersihan lingkungan dalam skala kecil seperti tingkat rumah tangga dapat dilakukan dengan pengelolaan sampah. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah menjaga kebersihan guna mengurangi resiko kesehatan seperti mencegah perkembangan vektor penyakit yang ada di lingkungan sekitar.
Secara umum, tujuan GERMAS adalah menjalani hidup yang lebih sehat. Gaya hidup sehat akan memberi banyak manfaat, mulai dari peningkatan kualitas kesehatan hingga peningkatan produktivitas seseorang. Hal penting lain yang tidak boleh dilupakan dari gaya hidup sehat adalah lingkungan yang bersih dan sehat serta berkurangnya resiko membuang lebih banyak uang untuk biaya berobat ketika sakit.
Data dari WHO Global Report on NCD (2010) menyebutkan bahwa persentase kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) menempati proporsi yang besar (63%) dibanding dengan penyakit menular. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, berdasarkan data WHO Global Observatory 2011, menunjukkan bahwa proporsi kematian kasus karena penyakit tidak menular adalah lebih besar dibanding penyakit menular.
Indonesia menghadapi transisi epidemiologi dalam masalah kesehatan, dimana penyakit menular belum dapat teratasi, sementara penyakit tidak menular pun semakin meningkatdimasyarakat. Program prioritas Kementerian Kesehatan dalam pengendalian PTM mencakup: akselerasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pengendalian faktor risiko PTM secara terintegrasi berbasis kelompok masyarakat aktif (Posbindu PTM), deteksi dan tindak lanjut dini penyakit tidak menular termasuk Asma, dan tatalaksana kasus di fasilitas pelayanan kesehatan dasar yaitu Puskesmas. Posbindu PTM merupakan kegiatan deteksi dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM.

D. Landasan Hukum
1. UU No.23 Th.1992 tentang kesehatan 
2. UU No.32 Th.2004 tentang Pemerintah Daerah 
3. UU No.25 Th.2005 tentang Perencanaan Pembangunan 
4. PP No.25 Th.2004 tentang Otonomi Daerah
5. Keputusan Menkes No.128 / Menkes / SK / II /2004 Th.2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas 
6. Keputusan Menkes No.131 / Menkes / SK / II/ 2004 tentang SKN
7. Instruksi Presiden No 1 Tahun 2017 tentang Germas
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
E. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dibentuknya Kampung Cerdik secara umum adalah sebagai penguatan upaya promotif dan preventif masyarakat yang didasari oleh rencana tindak lanjut dari hasil SMD dan MMK.
2. Tujuan Khusus
a. Menurunkan beban penyakit menular dan penyakit tidak menular, baik kematian maupun kecacatan
b. Menghindarkan terjadinya penurunan produktivitas penduduk 
c. Menurunkan beban pembiayaan pelayanan kesehatan karena meningkatnya penyakit dan pengeluaran kesehatan.

F. Manfaat
1. Meningkatkan kerjasama dan dukungan lintas sektor serta stakeholder terkait
2. Sebagai pemerataan pelayanan kesehatan untuk masyarakat.

Puskesmas Pemurus Dalam | Inovasi Kampung Cerdik
3

Minggu, 07 Oktober 2018

Rindu yang Palsu


Kau bilang rindu pada ku,
Tapi rindu mu palsu,
Rindu mu bukan untukku,
Rindu yg kau bilang itu hanya jeda saat dia tak ada untuk mu...
Rindu yg kau sampaikan itu hanya mengisi kesepian utk mengusir waktu...
Syukurlah rindu mu tak membunuhku,
Cukup menjadikan ku semakin tau,
Ternyata kau seorang penipu.

•GaluhAksara•

Kamis, 04 Oktober 2018

Rindu tanpa Aksara


Mau ku, cuma kamu

Kamu yang aku mau,
Bukan dia...
Seseorang yg berupaya menjadi kamu,
Pun dia yg seperti kamu,
Sikapnya yg menyerupaimu,
Sabarnya mirip kamu,
Hangatnya, hmm tak pernah ku rasakan itu dari dia selain kamu,
Karena yg ku tau,
Aku hanya mau kamu,
Dekapmu menenangkanku...
Hadirmu menyadarkan aku,
Bahwa....
Semua yg ada di kamu, melengkapiku...
_______________________________
Side effect from afternoon caramel latte.
•GaluhAksara•

Sabtu, 08 September 2018

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER (LGBT) MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER (LGBT)
 MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DI INDONESIA



SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian
dari syarat-syarat guna mencapai
gelar Sarjana Hukum




Oleh:

N A M A
: RARIES WIJAYANTI
N I M
: 214 02 07 712
Program Studi
: Ilmu Hukum


Logo_Sultan_Adam.jpg






SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM
BANJARMASIN
2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Alasan Memilih Judul
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dipahami mengandung arti lima dasar. Kelima dasar ini adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pengakuan atas eksistensi Pancasila ini bersifat imperatif atau memaksa. Artinya, siapa saja yang berada di wilayah NKRI, harus menghormati Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia.
 Sejak lahir, manusia miliki sebuah hak yang seharusnya mereka dapatkan untuk kemerdekaan dirinya sendiri sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Menurut John Locke (1660), hak yang sudah diberikan Tuhan sebagai sesuatu yang memang kodratnya disebut hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia menurut UU No.39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak untuk berbicara, hak untuk hidup, dan hak-hak lainnya merupakan suatu hak yang harus didapatkan oleh manusia.[1]
HAM dalam Pancasila sesunguhnya telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian diperinci di dalam batang tubuhnya yang merupakan hukum dasar, hukum yang konstitusional dan fundamental bagi negara Republik Indonesia. Perumusan alinea pertama Pembukaan UUD membuktikan adanya pengakuan HAM ini secara universal. Ditegaskan di awal Pembukaan UUD itu tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia. Oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Bangsa Indonesia menginginkan negara yang menjamin kesejahteraan rakyat , yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Negara demikian adalah negara hukum . Sebagai negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum[2]
Kontroversi mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau yang lebih dikenal LGBT sedang dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat. Banyak kalangan yang menolak akan adanya LGBT ini sendiri karena menganggap melanggar kodratnya manusia diciptakan.  Salah satunya MUI yang menilai haram secara agama maupun pancasila khususnya pada sila ke-1. Akan tetapi, pendapat kalangan minoritas tersebut mereka menganggap bahwa yang mereka lakukan adalah hak-hak mereka karena memang itu semua adalah pilihannya.
Pertambahan jumlah pelaku LGBT di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu antara tahun 2009 sampai dengan 2012 diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 37%. Peningkatan tersebut juga diikuti peningkatan akses internet, pornografi, narkoba dan muncul banyaknya organisasi gerakan LGBT. Selain faktor biologis, pengaruh lingkungan terdekat terutama keluarga, teman bermain, kekerasan seksual, paparan konten pornografi dan narkoba disinyalir kuat menjadi pemicu praktik LGBT.
Pengaruh LGBT ini setidaknya pernah memakan korban karena diskriminasi warga, sehingga Komnas HAM membahas mengenai isu publik tersebut. Jumlah gay di Indonesia mencapai angka 20.000 sedangkan para ahli dan PBB menyebutkan peningkatan jumlah gay dari tahun 2010 diperkirakan 800 ribu menjadi 3 juta pada tahun 2012. Di Jakarta diperkirakan terdapat sekitar 5 ribu gay dan di Jawa Timur terdapat 348 ribu gay dari 6 juta penduduk Jawa Timur.[3]
Sedangkan untuk Kalimantan Selatan yang sempat mencuat dalam harian media cetak lokal menyebutkan bahwa saat ini Kalimantan Selatan darurat LGBT ditinjau dari media sosial yang dalam telusuran tercatat adanya group media sosial Facebook (FB) Gay Athena Banjarmasin, Gay Banjarmasin, Perkumpulan Gay Banjarmasin, Gay SMP/SMA Banjarmasin & sekitarnya, Waria Borneo Banjarmasin, Pin dan Nope Gay Banjarmasin Part 3, Communitas Gay Martapura & Banjarbaru (NEW), Gay Lovers Pelaihari, Babam Besa...Bekintulan, Gay/Top/Bot/ Khusus Banjarbaru, Communitas Gay Martapura & Banjarbaru (New) dan Web Web Kalimantan (www.freegb.net), sampai saat ini anggota groupnya sudah mencapai ribuan orang lebih.[4]
Beberapa kejadian mengenai kasus LGBT di Indonesia yang heboh mencuat ke permukaan misalnya Penggerebekan diduga pesta seks gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara, mengagetkan masyarakat Indonesia.
Sebab, ada lebih dari 100 orang yang ditangkap aparat. Foto-foto yang beredar liar dari lokasi kejadian memperlihatkan tubuh-tubuh tersangka yang nyaris telanjang. Selanjutnya pada September 2015, warga Bali dihebohkan dengan pernikahan pasangan dua pria di sebuah hotel di daerah Ubud Kabupaten Gianyar, Bali. Kemudian Pada awal Mei 2017 masyarakat Surabaya dikejutkan dengan pesta gay yang diduga dilakukan di dua kamar di Hotel Oval Surabaya. Dalam kejadian tersebut sebanyak 14 orang ditangkap, dimana lima dari 14 orang peserta pesta seks gay itu positif mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV)[5]
Mengenai perlindungan kaum LGBT sampai saat ini hanya mengenai tindak diskriminasi terhadap mereka bukan melegalkan karena hingga saat ini pemerintah masih tidak menyetujui untuk melegalkan hal tersebut.
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait.[6]
Selain faktor biologis, perilaku seksual menyimpang tersebut juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Maraknya komunitas LGBT belakangan ini karena penyakit tersebut bisa ditularkan. Dari hasil survei dalam sebuah penelitian ilmiah menyebutkan bahwa mereka yang sudah mengalami kelainan tersebut kemudian juga menularkan kepada orang lain di sekitarnya dengan mengajak bergabung di komunitas yang mereka bentuk. Di komunitas itulah, lelaki atau perempuan yang sebelumnya masih normal kemudian menjadi berubah sifatnya karena pengaruh doktrin di komunitas tersebut.[7]
Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum. Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal.
Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum untuk mendapatkan ‘status yuridis’-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah tidak?
Taat pada norma hukum positif (norma hukum yang sedang berlaku) adalah suatu konsesi patriotisme yang paling utama sebagai sendi-sendi perilaku konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum.
Bertalian dengan hal tersebut, pada kenyataannya kajian hukum tidak hanya tentang norma hukum positif tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum, dan pengawasan hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur, saling tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus eksis di kancah kajian atau pendapat hukum. Inilah suatu logical plot yang dikenal dengan istilah democratic and constitutional welfare state sebagai muatan glosarium ketatanegaraan Indonesia.[8]
LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah identitas, tetapi juga merupakan campaign substance and cover atas pelanggengan Same Sex Attraction (SSA). Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi keluarga.
Preferensi homoseksual itu hadir dalam keyakinan atas aktualisasi diri, pemikiran berisi pembenaran preferensi tersebut, dan keinginan yang mendorong untuk merealisasikannya. Perbuatan homoseksual itu mewujud dalam hubungan interpersonal sesama homoseksual. Selanjutnya, pembentukan keluarga LGBT adalah fase paling mutakhir dalam melanggengkan kedua perilaku yang lainnya, baik preferensinya maupun perbuatannya sebagai homoseksual.
Sejarah homoseksualitas dapat ditilik dari masa Mesir Kuno, sementara itu sikap masyarakat terhadap hubungan sesama jenis telah berubah dari waktu ke waktu dan berbeda secara geografis. Bermula dari mengharapkan semua pria terikat dalam hubungan sesama jenis, dalam kesatuan sederhana, melalui penerimaan, dalam pemahaman praktik tersebut merupakan dosa kecil, menekannya melalui penegakan hukum dan mekanisme pengadilan, hingga dalam pengharaman hubungan tersebut praktik homoseksual dijerat dengan hukuman mati.[9]
Perilaku LGBT pada gilirannya akan mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang membenarkan perilaku demikian.
Gagasan dan realitas komunitas LGBT yang luas mencapai ke pelosok kota atau ke seluruh wilayah negara merupakan suatu praktik sosial dan bukan suatu identitas ataupun adanya rasa kebersamaan. Ada ruang dan konteks sosial berbeda dimana mereka merasa nyaman dan bisa menjalin hubungan dengan penganut LGBT lainnya. Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadi dan khususnya praktik-praktik sosial dan seksual.
Bagi penganut LGBT yang berada dikalangan orang yang berpendidikan dan memiliki taraf ekonomi menengah keatas, mereka memiliki komunitas tersendiri dalam melakukan praktik sosial dan seksualnya, pada umumnya mereka hanya terbuka dengan kalangannya.  Namun kita bias melihat penganut LGBT yang berada dikalangan ekonomi menengah kebawah dan memiliki hasrat namun tidak tau kemana dirinya harus mengeksplorasi keinginan nya tersebut cenderung melakukan perbuatan asusila seperti yang banyak diberitakan di beberapa media massa misalnya tindak pidana kejahatan seksual sodomi. Dan dalam hal ini belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus.
 Barangkali satu-satunya dasar pemikiran yang membenarkan ialah falsafah etis hedonisme yang tidak rampung.  Aristippus sebagai tokoh falsafah hedonisme dan murid Socrates menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hidup manusia adalah kesenangan. Namun, apabila kita melihat seluruh catatan filsafat Barat tentang filsafat hedonisme, tidak ada yang menyebutkan bahwa kesenangan yang dimaksud itu adalah hal yang secara langsung diingini oleh hasrat yang fana. Seluruhnya mengarahkan pada pemikiran untuk mencapai kesenangan yang hakiki dimana berlaku pengendalian diri dan kesejatian insani.
Telah nyata bahwa wahyu Tuhan mengutuk perilaku homoseksual. Juga tidak akan ada akal sehat yang membenarkannya. Pun tidak akan ada pandangan berwawasan kebangsaan yang akan membelanya. Di luar itu, cuma akal dan pandangan yang bertekuk lutut di bawah hasrat pemenangan diri sendiri atau ketidaksadaran atas perusakan tatanan kemasyarakatan yang bermartabat saja yang mungkin mendukungnya.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, sebab itu penulis mengangkat masalah tersebut untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai kasus belum ada kejelasan apakah LGBT adalah sebuah hak manusia untuk memilih jalan tersebut ataukah tindakan yang melanggar ketentuan agama yang artinya melanggar pula Pancasila sila ke-1 yang mengakui adanya Tuhan.
B.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan mengkaji LGBT dalam perspektif hukum positif di Indonesia
2.      Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban dari perilaku  LGBT
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1.      Menjadi bahan referensi bagi para akademisi khususnya para mahasiswa program studi ilmu hukum.
2.      Menjadi bahan masukan terhadap aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, Hakim, praktisi hukum serta instansi terkait lainnya terhadap masalah LGBT.
3.      Sumber literatur dan tambahan pengetahuan bagi masyarakat umum yang mempunya kepedulian terhadap permasalahan hukum terutama sehubungan dengan perilaku LGBT yang ada dimasyarakat.
C.    Perumusan dan Pembatasan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka yang akan diidentifikasi adalah:
1.      Bagaimana perspektif hukum positif di Indonesia terhadap LGBT?
2.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban dari perilaku LGBT?
D.    Metode dan Teknik Penelitian
1.         Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum) yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).
2.         Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan cara menganalisis seluruh peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan  LGBT untuk memperoleh konsistensi/ kesesuaian antar peraturan perundang-undangan sehingga diketahui kendala dan hambatan penerapan peraturan terkait permasalahan tersebut.
3.         Sifat Penelitian
Penelitian hukum dalam penulisan skripsi ini bersifat analisis deskriptif yaitu menggambarkan konsep hukum dalam peraturan perundang-undangan (law in books), dalam hal ini terkait dengan dasar hukum di Indonesia terkait LGBT.
4.         Bahan Hukum
Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif sehingga terdapat 3 (tiga) macam bahan pustaka yang digunakan oleh penulis, yakni :
a.     Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU No 13 Tahun 2006 jo. UU no 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b.    Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian (jurnal hukum) dan pendapat pakar hukum.
c.     Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah kamus hukum, ensiklopedia hukum (istilah-istilah hukum).
5.         Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam skripsi ini menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka meliputi studi bahan-bahan hukum dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Studi dokumen dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat, membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan LGBT
Teknik pengolahan bahan hukum dalam skripsi ini dengan cara mengklasifikasikan bahan-bahan hukum untuk memudahkan analisis dalam penelitian hukum normatif, selanjutnya dilakukan pembahasan sehingga diperoleh hasil analisis hukum kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis guna menjawab permasalahan dalam penelitian.
E.     Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan yang menjadi langkah-langkah dalam proses penyusunan skripsi ini selanjutnya yaitu :
Bab I Pendahuluan berisi tentang alasan pemilihan judul, tujuan dari penelitian, kegunaan penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, metode dan teknik penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan yuridis mengenai LGBT menurut perspektif hukum di Indonesia yang terdiri dari pengertian Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Pengertian dan dasar hukum tentang Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Kesusilaan oleh LGBT.
Bab III Masalah LGBT menurut perspektif hukum positif di Indonesia berisi tentang Perspektif Hukum positif di Indonesia terhadap LGBT dan Perlindungan Hukum terhadap korban dari perilaku LGBT.
Bab IV Penutup berisi kesimpulan dan saran



BAB II
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI LGBT MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A.    Pengertian Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT)
Keberadaan kaum homoseksual di Indonesia masih menjadi kontroversi di negara yang menjunjung nilai moral yang tinggi. Homoseksual masih dianggap tabu dan menakutkan oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Namun saat ini tak sedikit masyarakat Indonesia yang telah menerima kehadiran mereka sebagai salah satu dari keragaman, bukan lagi suatu hal yang menyimpang. Tak kurang dari 1% penduduk Indonesia adalah pelaku seks menyimpang (gay dan lesbian), jumlah itu akan terus bertambah sejalan dengan perkembangan dan eksistensi asosiasi homoseksual di Indonesia[10].
Homoseksual merupakan masalah global dan modern sekarang ini, gaya hidup atau life style merupakan hal yang sangat penting dan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri. Homoseksual sudah menjadi suatu fenomena yang banyak dibicarakan di dalam masyarakat, baik di berbagai negara maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri homoseksual masih menjadi suatu fenomena seksual yang tidak lazim dan dianggap aneh oleh sebagian masyarakat.
Di negara-negara barat fenomena LGBT sudah tidak lagi menjadi suatu fenomena yang dianggap tabu lagi[11]. Orientasi seksual yang lazim ada dalam masyarakat adalah heteroseksual sedangkan homoseksual oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual. Orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan biologis. Pada sebagian besar individu, orientasi seksual terbentuk sejak masa kecil.
Ada banyak pendapat dimana teori queer ini dibedakan dari teori pembebasan gay yang paling awal. Dengan munculnya seksualitas di era modern seseorang ditempatkan dalam kategori tertentu yaitu kedua pasangan tidak bertindak atas kecenderungan baik yang aktif maupun pasif. Maka dari itu pemahaman seksualitas tidak dapat ditinjau dari segi natural semua pemahaman seksualitas dibangun dan dimediasi oleh pemahaman budaya. Akibatnya kaum homoseksual gay ataupun lesbian pada saat ini menganggap diri mereka itu normal dikarenakan mereka menganggap apa yang terjadi pada diri mereka merupakan perkembangan sosial semata[12].
Secara umum, terjadinya perilaku LGBT dipicu oleh dua hal, yaitu factor syahwat (hormon seksualitas) dan pembenaran akal (pemikiran). Secara biologis, tubuh manusia memiliki sistem hormonal yang salah satunya berhubungan dengan dorongan nafsu seksualitas dan orientasi seksualnya.
Penguatan rangsangan yang masuk melalui inderawi (mata, telinga, kulit) dapat memicu aktivitas hormonal tubuh yang mendorong aksi pemenuhan kebutuhan biologis berupa penyaluran seksualitas. Seseorang yang melihat, mendengar, tersentuh sesuatu terkait seks, baik tayangan pornografi, mendengar aktivitas seks atau sentuhan kulit akibat aktivitas seksualitas akan mendorong rangsangan seks. Seseorang akan memiliki hasrat penyaluran seksualitas ketika ada pemicunya tersebut.
Jika selama ini yang diketahuinya bahwa penyaluran seksualitas sesuai
aturan agama, seperti hanya pada pasangan heteroseksual, setelah menikah, ditempat yang dibolehkan dan seterusnya maka perilaku seksualitasnya akan mengarah kepada penyaluran yang lazim tersebut. Namun sebaliknya jika yang dipikirkannya atau orientasi seksualitasnya terjadi sebaliknya maka yang muncul adalah penyimpangan seperti Lesbian, Gay, Biseksual, dan transgender (LGBT). Penyimpangan tersebut dapat terjadi karena pengetahuan seks yang diperolehnya mengarah kepada perilaku LGBT baik secara langsung maupun tidak. Disisi lain dorongan pemikiran yang menganggap perilaku LGBT (seks non heteroseksual) sebagai hal yang lazim akan mengarahkan penyaluran hasrat seksualitas dari aktivitas hormonal tubuh tersebut turut menyimpang sesuai kemauan arahan pikiran.
1.    Lesbian
Pengertian lesbian adalah perempuan yang secara psikologis, emosi dan seksual tertarik kepada perempuan lain. Seorang lesbian tidak memiliki hasrat terhadap gender yang berbeda/ laki-laki, akan tetapi seorang lesbian hanya tertarik kepada gender yang sama/perempuan. Mereka berpendapat bahwa istilah lesbian menyatakan komponen emosional dalam suatu relationship, sedangkan istilah homoseksual lebih fokus kepada seksualitas. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual.[13]
2.    Gay
Gay adalah penyimpangan sosial yang terjadi karena seorang lelaki menyukai sesama jenisnya laki-laki. Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama jenis, meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum/politik yang mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Hubungan dan tindakan homoseksual telah dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah, tergantung pada bentuknya dan budaya tempat mereka didapati. Sejak akhir abad ke-19, telah ada gerakan menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang gay, yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan. [14]
Kaum gay memiliki ciri-ciri yang membantu mereka untuk mengenali dan dikenali dengan sesama gay dan di dalam masyarakat. Ciri-ciri tersebut terkadang sengaja dibentuk oleh mereka, tapi ada juga yang dilakukan secara tidak sengaja atau pembawaan secara naluri. Berikut adalah karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki kaum gay; Gay lebih menyukai mengenakan pakaian ketat, karena dapat memperlihatkan lekuk tubuh si pemakai. Bagi gay, lekukan tubuh merupakan daya jual tersendiri. Gay lebih senang memakai warna mencolok. Dalam berkomunikasi gaya bicaranya pun lebih feminin dan perhiasan yang dikenakannya pun cenderung ramai. Bahkan itu merupakan alat komunikasi sesama gay.
Ciri lainnya adalah selalu tertarik pada aktivitas yang biasanya dilakukan wanita. Ada juga yang mengatakan bahwa, ciri-ciri lelaki gay adalah sebagai berikut:
a.    Berpenampilan rapi
b.    Tidak banyak bicara (cenderung pendiam)
c.    Menggunakan wewangian
d.   Berbicara dengan nada lembut
e.    Bertindak hati-hati dalam segala hal yang dia lakukan
f.     Mengenakan pakaian yang berbeda kesannya dengan yang lain (cenderung stylist dan menarik perhatian)
Setiap gay tidak memiliki perbedaan dari tatapan mereka. Dapat dikatakan, mereka cenderung pendiam atau cenderung cerewet. Gaya hidup mereka terkadang terlalu normal atau terlalu tidak wajar. Mereka bisa mendapat tekanan batin dan bisa pula mereka terlalu terbiasa dengan kondisi mereka sebagai gay. Biasanya kaum gay cenderung temperamental.[15]
3.    Biseksual
Di ambil dari kata “bi” yang berarti dua dan “seksual” yang berarti persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.[16] Biseksual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah  Orang yang tertarik kepada kedua jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan). Seksualitas berasal dari kata seks, yang berarti nafsu syahwat atau libido seksual. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa: “Seksual adalah dorongan kuat bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mendekati dan bercengkrama, baik untuk berhubungan biasa (berteman) maupun berhubungan kelamin.” [17]
Menurut, Johnson, dan Kolodny dalam Eny Kusmiran seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, diantaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial dan kultural. Berikut ini penjelasannya[18]
a.    Dimensi biologis, berdasarkan perspektif biologi (fisik),seksualitas berkaitan dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia, serta dampaknya bagi kehidupan fisik atau biologis manusia.
b.    Dimensi psikologis, berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana manusia menjalani fungsi seksual dengan identitas jenis kelaminnya, dan bagaimana dinamika aspek-aspek psikologi (kognisi, emosi, motivasi, prilaku) terhadap seksualitas itu sendiri, serta bagaimana dampak psikologi dari keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia.
c.    Dimensi sosial, melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antarmanusia, bagaimana seseorang beradaptasi atau menyusuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan sosial, erta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.
d.   Dimensi Kultural dan Moral, dimensi ini menunjukan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat. Seksualitas di negara-negara barat pada umumnya menjadi salah satu aspek kehidupan yang terbuka dan menjadi hak asasi manusia. Beda halnya dengan moralitas agama, misalnya menganggap bahwa seksualitas sepenuhnya adalah hak Tuhan sehingga penggunaan dan pemanfaatannya harus dilandasi dengan norma-norma agama yang sudah mengatur kehidupan seksualitas menusia secara lengkap.
Definisi di atas menunjukkan bahwa biseksual ialah seseorang yang tertarik secara seksual kepada jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin yang berbeda dengannya. Oleh karena itu, perbedaan antara homoseksual dan biseksual adalah letak ketertarikan seksual yang berbeda, yaitu kecenderungan homoseksual untuk tertarik kepada sejenisnya sedangkan biseksual mempunyai ketertarikan kepada jenis kelamin yang sama maupun dengan jenis kelamin
4.    Transgender
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. "Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang tepat untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup [19]
a.    Tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan, melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya.
b.    Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan pada alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak sempurna bagi dirinya.
c.    Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada dirinya pada saat kelahirannya.
Transgender merupakan individu yang merasa diri mereka lahir dengan jenis kelamin biologis yang salah dan menganggap dirinya adalah kelompok dari jenis kelamin kebalikannya. Faktor yang menjadi latar belakang adalah faktor internal (alamiah), maupun faktor eksternal (pengaruh keluarga dan lingkungan).
Yash menyatakan bahwa:
“Transgender adalah kata yang digunakan untuk mendeskripsikan bagi orang yang melakukan, merasa, berfikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang telah ditetapkan sejak lahir. Transgender tidak mengacu pada bentuk spesifik apapun ataupun orientasi seksual orangnya. Seorang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.”

Mereka yang merasakan ketidaknyamanan dengan gender kelaminnya, akan melakukan operasi pergantian kelamin atau yang disebut dengan transgender. Namun langkah mereka tidak hanya sampai disitu, setelah melakukan sebuah operasi pergantian kelamin maka selanjutnya dilakukan sebuah pergantian identitas.
Mereka yang berani melakukan transgender atau operasi penggantian kelamin, bukanlah termasuk pada kategori penyuka sesama jenis (homoseksual /lesbian) tetapi karena memiliki kelainan pada orientasi seksualnya atau merasa terjebak pada jenis kelaminnya tersebut. Salah satu penyebab transgender adalah pengaruh hormonal yang membentuk karakteristik kelamin manusia, dan ini bukanlah merupakan penyakit mental.
Istilah Lesbian, Gay, Besiksual dan Transgender atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan LGBT digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”. Istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender.
Istilah LGBT banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.
Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan akronim ini. Beberapa orang dalam kelompok yang disebutkan merasa tidak berhubungan dengan kelompok lain dan tidak menyukai penyeragaman ini. Beberapa orang menyatakan bahwa pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama dengan pergerakan kaum "LGB". Gagasan tersebut merupakan bagian dari keyakinan "separatisme lesbian & gay", yang meyakini bahwa kelompok lesbian dan gay harus dipisah satu sama lain. Ada pula yang tidak peduli karena mereka merasa bahwa akronim ini terlalu politically correct. Akronim LGBT merupakan sebuah upaya untuk mengategorikan berbagai kelompok dalam satu wilayah abu-abu dan penggunaan akronim ini menandakan bahwa isu dan prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian yang setara. Di sisi lain, kaum interseks ingin dimasukkan ke dalam kelompok LGBT untuk membentuk "LGBTI". Akronim "LGBTI" digunakan dalam The Activist's Guide of the Yogyakarta Principles in Action. [20]



B.     Pengertian Hukum Positif
Hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.Hukum positif dapat diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu antara lain dilihat dari sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain sebagainya.
a.    Sumber Hukum Positif
Sumber hukum dapat diartikan sebagai-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara. Menurut Sudikno, kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:
1)        Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia jiwa bangsa dan sebagainya.
2)        Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan kepada hukum sekarang yang berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi.
3)        Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
4)        Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undan-undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.
5)        Sebagai sumber hukum. Sumber yang menimbulkan aturan hukum.
Sumber hukum sendiri diklasifikasikan kedalam dua dua bentuk yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum yang formil adalah:
a)          Undang-undang
b)         Adat dan kebiasaan
c)          Traktat
d)         Yurisprudensi
e)          Doktrin
1.      Unsur, Ciri-Ciri dan Sifat Hukum Positif
Setelah melihat definisi-definisi hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum positif meliputi beberapa unsur, yaitu:
a.    Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b.    Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c.    Peraturan bersifat memaksa.
d.   Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Kemudian, agar hukum dapat dikenal dengan baik, haruslah diketahui ciri-ciri hukum. Ciri-ciri hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Terdapat perintah dan larangan
b.    Perintah/larangan tersebut harus dipatuhi setiap orang
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan “kaedah hukum”. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu kaedah hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum) yang berupa hukuman.
Sanksi hukum atau pidana memiliki beragam jenis bentuk. Namun, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:
Pidana pokok, meliputi:
a.    Pidana mati
b.    Pidana penjara
c.    Pidana Kurungan
d.   Pidana denda
e.    Pidana tutupan
Pidana tambahan, meliputi:
a.    Pencabutan hak-hak tertentu
b.    Perampasan barang-barang tertentu
c.    Pengumuman putusan Hakim
a.    Fungsi dan Tujuan Hukum Positif 
1)   Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
2)   Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
3)   Sebagai sarana penggerak pembangunan.
4)   Sebagai penentuan alokasi wewenang acara terperinci siapa yang berwenang melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus mentaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil seperti konsep hukum konstitusi Negara.
5)   Sebagai alat penyelesaian sengketa.
Soleman B. Taneko, seorang pakar hukum mengemukakan bahwa fungsi hukum mencakup lebih dari tiga jenis. Adapun fungi hukum yang dimaksudkan adalah meliputi:
a. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku.
b. Pengawasan/pengendalian sosial (sosial control).
c. Penyelesaian sengketa (dispute settlement).
d. Rekayasa sosial (sosial engineering).
C.    Pengertian dan Dasar Hukum Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam UU tersebut juga menyatakan Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum , sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum. HAM merupakan alat untuk memungkinkan warga masyarakat dengan bebas mengembangkan bakatnya untuk penunaian tugasnya dengan baik.
Tentang pengertian HAM , A. Gunawan Setirdja mengemukakan[21] :
a.    Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasiakan dalam naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam konstitusi nasional maupun dalam perjanjian internasional.
b.    Definisi politis HAM yang menunjuk pada pengertian politik, yaitu proses dinamis dalam arti luas berkembang di masyarakat suatu masyarakat tertentu. Termasuk didalamnya keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut. Hukum merupakan salah satuhasil terpenting dari proses politik, hukum berakar dalam keadaan politik konflik masyarakat.
c.    Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM. Makna etis HAM menyangkut justru problem esensial, klaim individual harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik. Pengertian klaim etis, tuntutan etis mengandung didalamnya suatu pandangan teoritis mengenai landasan norma-norma etis.
Hak adalah diganti dengan fungsi sosial yang tidak semua manusia mempunyai hak, sebaliknya tidak semua manusia menjalankan fungsi-fungsi sosial (kewajiban) tertentu.
Menurut Subhi Mahmassani menyatakan : [22]
“Hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia secara umum bertujuan dan menghendaki ditetapkannya kaidah-kaidah umum dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan serta hal-hal yang mesti diikuti dalam pelaksanaanya berupa kode etik dalam gelanggang percaturan politik. Hak-hak tersebut, seperti nampak dari ungkapan yang umum, yaitu tidak dapat diketahui batasannya dengan konkrit dan definitive. Ia berkisar di sekitar kebebasan dan prinsip persamaan. Oleh karena itu, persoalan ini selalu menjadi arena perbedaan pendapat dan pertentangan paham serta teori yang berbeda-beda”
Philipus M Hadjon mengelompokkan pemikiran tentang HAM kedalam tiga kelompok yang didasarkan atas idea atau gagasan yaitu “political and ideological thought” sebagai berikut : [23]
1.      Konsep Barat. “Barat” yang dimaksud disini tidak hanya meliputi Eropa Barat, tetapi juga termasuk Amerika Serikat dan Kanada, Australia, New Zaeland, sebagian negara-negara Amerika latin yang dipengaruhi oleh pemikiran barat, Jepang dari sisi geografi maupun tradisi filsafat tidak termasuk kelompok barat namun dewasa ini darei beberapa segi (ekonomi) dipandang juga sebagai kelompok barat. Menurut konsep barat, HAM bersumber pada hak-hak kodrat (natural rights/jus naturalis) yang mengalir dari hukum kodrat. Aspek dominan dalam konsep barat tentang HAM menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pasa kodrat manusia sebagai individu. Hak tersebut berada diatas negara dan diatas semua organisasi politik dan sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Konsep ini sering dilontarkan sebagai kritik bahwa konsep barat tentang HAM adalah konsep yang individualis.
2.      Konsep Sosial. Konsep ini meliputi negara-negara sosialis di Eropa Timur, termasuk Kuba dan Yugoslavia yang dari segi ekonomi termasuk dunia ketiga dan dari segi fakta politik (pertahanan) termasuk kelompok negara non blok. Konsep sosialis tentang HAM bersumber pada ajaran Karl Mark dan Frederieck Engels. Sosialisme tidak menekankan hak terhadap masyarakat tetapi menekankan kewajiban terhadap masyarakat. Atas dasar itu konsep sosialisme Karl Mark mendahulukan kemajuan ekonomi daripada hak-hak politik dan hak-hak sipil, mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan. HAM bukanlah bawaan kodrat manusia seperti ajaran hukum kodrat, tetapi setiap hak warga negara yang bersumber dari negara dalam pengertian bahwa negaralah yang menetapkan apa yang merupakan hak.
3.      Konsep dunia ketiga. Kelompok dunia ketiga adalah kelompok secara pemikiran maupun politik antar bangsa-bangsa berada diluar kelompok Barat dan Sosialis. Negara-negara tersebut sebagian besar terletak di benua Asia dan Afrika. Terdapat tiga kelompok di dunia yaitu kelompok pertama dipengaruhi oleh konsep sosialis Marxisme, kelompok kedua dipengaruhi oleh konsep barat dan yang kelompok ketiga adalah negara-negara yang karena falsafah hidupnya, ideologi dan latar belakang sejarahnya menerapkan suatu konsep tersendiri tentang HAM.
Apabila ditelusuri dari pengaturan tentang HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka diketahui bahwa konsep HAM sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 ternyata bersumber dari Pancasila sebagai dasar ideologi dan daar falsafah negara. Oleh karena itu pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia (Indonesia) bukanlah hasil dari suatu perjuangan bertahun-tahun tetapi pengakuan itu secara intrinsik melekat pada Pancasila yang tercermin dalam sila-silanya.
Para penganut LGBT di Indonesia menginginkan keberadaan mereka diakui serta memiliki landasan hukum yang jelas berdasarkan Hak Asasi Manusia. Mereka menginginkan hak-hak mereka juga sejajar dengan hak warga negara yang lainnya.


D.    Tindak Pidana Kesusilaan Oleh LGBT
Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.[24]
Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.[25]
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1).Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.[26]
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :
a.    Kesengajaan(dolus)
b.    Ketidaksengajaan (culpa)
c.    Niat (voornemen)
d.   Maksud (oogmerk)
e.    Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade)
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :
a.       Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid;
b.      Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri;
c.       Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Dalam hukum pidana, aturan tentang homoseksual diatur pada buku ke 2 KUHP tentang Kejahatan, Bab XIV Kejahatan Kesusilaan Pasal 292. Pasal 292 KUHP mengatur bahwa orang yang sudah dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa, yang sejenis kelamin dengan dia, padahal diketahui atau patut disangkanya bahwa anak itu belum dewasa, dipidana dengan pidana penjara selama lamanya lima tahun. Dari pasal diatas diketahui bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa yang sejenis dengan dia. Dewasa dalam hal ini berarti telah berumur 21 tahun, atau belum mencapai umur itu tetapi sudah kawin. Adapun jenis kelamin yang sama berarti laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.[27]
Mengenai perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual, misalnya alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya. Persetubuhan pun dapat disebut dengan perbuatan cabul, kecuali perbuatan cabul dalam Pasal 289 KUHP. Pertimbangan Pasal 292 KUHP ini didasarkan atas kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melindungi kepentingan orang yang belum dewasa, yang menurut keterangan dengan perbuatan homoseksual ini kesehatannya akan sangat terganggu, terutama jiwanya. Rumusan Pasal 292 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut:[28]
Unsur-unsur Objektif
a. Perbuatannya perbuatan cabul
b. Si pembuatnya oleh orang dewasa
c. Objeknya pada orang sesama jenis kelamin yang belum dewasa
Unsur-unsur Subjektif:
a.    Yang diketahuinya belum dewasa
b.    Yang seharusnya patut diduganya belum dewasa
Persetubuhan dalam arti sebenarnya seperti antara perempuan dan lakilaki tidak dapat terjadi dalam Pasal ini sebab untuk dikatakan sebuah persetubuhan yang sebenarnya haruslah dengan jenis kelamin yang berbeda. Hal ini dapat didasarkan pada pertimbangan hukum Hoge Raad yang menyatakan persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk adalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani.
Pengertian persetubuhan ini di atas berdasarkan aliran klasik, sementara pengertian persetubuhan aliran modern yang banyak diikuti dalam praktek peradilan sekarang tidak mensyaratkan keluarnya air mani, yang terpenting telah diperoleh kenikmatan oleh salah satunya atau kedua-duanya. Sesuai dengan asas tidak ada pidana tanpa kesalahan, maka unsur kesalahan yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP berupa (1) kesengajaan yakni diketahuinya temannya sesama jenis berbuat cabul itu belum dewasa; dan (2) berupa culpa, yakni sepatutnya harus diduganya belum dewasa. Mengenai sepatutnya harus diduga berdasarkan keadaan fisik dan psikis ciri-ciri orang belum dewasa atau yang umurnya belum 21 tahun.







BAB III

MASALAH LGBT MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
 DI INDONESIA


  1. Perspektif Hukum Positif di Indonesia terhadap LGBT
Pada hakikatnya norma hadir dan berkembang dalam manusia yang hidup bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain untuk keberlangsungan hidup. Agar kehidupan dapat berjalan dengan lancar, maka manusia membutuhkan berbagai aturan tertentu yang tidak semua orang dapat untuk melakukan perbuatan sesuka hatinya. Apabila keinginan yang dimiliki seseorang dipaksakan terhadap orang lain, maka akan terjadi benturan dengan keinginan dari pihak lain.
Dalam hal ini LGBT bukan merupakan fenomena baru yang terjadi pada lingkungan masyarakat Indonesia melanggar norma yang berlaku di Negara ini. Diantaranya pelaku LGBT telah melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma hukum, norma adat. Meskipun dalam hal ini Indonesia bukan merupakan Negara yang konsen terhadap agama tertentu, tetapi ajaran agama dijunjung tinggi bahkan agama mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat disimak dalam sila ke satu pada dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Indonesia juga memiliki kebegaraman adat istiadat, dimana masing-masing memiliki norma-norma yang harus dipatuhi, meskipun ada beberapa daerah yang menganggap perilaku LGBT dalam hal ini adalah gay dianggap merupakan adat dari daerah tersebut yaitu ada pada adat-istiadat warok dan gemblak dari Ponorogo, Calalai (perempuan yang maskulin), Calabai (laki-laki yng feminism), Bissu (pelaku ritual Transgender) yang merupakan gender yang berlaku pada adat Bugis di Sulawesi Selatan.[29]
 LGBT merupakan akronim dari “Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender”. Istilah ini digunakan circa tahun 90 an untuk menggantikan frase “komunitas gay”. Setiap komunitas yang disebut dan terkandung dalam akronim di atas tersebut, pada praktiknya, telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing. Bagaimana mereka bersekutu dan menyimbolisasikannya lewat bendera pelangi adalah hal yang telah melewati proses yang sangat panjang. Perkembangan LGBT di Indonesia walaupun tidak dapat dikatakan cukup pesat,namun masyarakat makinmenyadari akan adanya keberadaan kaum LGBT disekitar mereka .Data yang dilansir oleh portal gaya nusantara.
Secara konkrit perlawanan terhadap LGBT keluar dari berbagai kalangan di Indonesia. LGBT sudah sepatutnya untuk dilarang apabila mereka melakukan tindakan-tindakan yang memalukan, seperti menunjukkan keintiman atau rasa kasih sayang mereka di tempat-tempat umum. Majelis Ulama Indonesia pun mendorong Pemerintah untuk mengilegalkan hubungan dan ketertarikan sesama jenis. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla Fenomena dan isu seputar LGBT telah menjadi perbincangan yang sangat hangat di banyak kalangan masyarakat dan khalayak ramai, terutama di negara-negara berkembang yang mana masih berpendapat bahwa orientasi seksual adalah sesuatu yang masih asing dalam kebudayaan mereka.[30]
Dalam norma hukum yang dilanggar oleh pelaku LGBT diantaranya adalah UU perkawinan dimana sudah tertera jelas bahwa dalam perkawinan adalah antara seorang laki-laki dan wanita. Selain itu dalam undang-undang perkawinan ada ketentuan yang harus tercatat bahwa perkawinan dicatat menurut undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini di Indonesia pencatatan perkawinan diatur dalam undang-undang administrasi kependudukan No 23 Tahun 2006 jo.UU No 24 Tahun 2014, namun terdapat kelemahan dalam pasal 68 ayat 2 disitu tidak disebutkan mengenai jenis kelamin, hal ini dapat memberikan ruang bagi mereka pelaku LGBT.
Indonesia bukan Negara liberal. Tidak ada agama yang melegalkan hubungan sesama jenis karena jelas sekali pengaruhnya tidak baik bagi masing-masing manusia maupun kehidupan bangsa ini. Dan karakter bangsa Indonesia yang disebut Ketimuran cenderung tidak menerima dan memandang negative para pelaku LGBT.
Taat pada norma yang berlaku di Indonesia merupakan konsesi patriotism yang paling utama sebagai sendi-sendi perilaku konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan, ketertiban umum dan kepastian hukum.
Yang kita ketahui kenyataannya kajian hukum tidak hanya tentang norma yang berlaku tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum dan pengawasan hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur,. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus eksis dikancah kajian atau pendapat hukum.
Sesungguhnya penyebaran ini bukanlah sesuatu yang instan saja namun telah didorong dan berakar sejak lama. Terlepas dari penerimaan masyarakat terhadap kaum LGBT yang terjadi di dunia barat, identitas homoseksual baru eksis di kota-kota besar di Indonesia pada beberapa puluh tahun abad ke 20. Walaupun rasanya masih sangat baru, pada dasarnya eksistensi homoseksualitas yang terekstensi dari tradisi “perwariaan atau perbencongan ini telah berabad-abad lamanya hadir dan secara menyeluruh diterima sebagai bagian dari kultur Indonesia.
Bukan hanya itu, dengan dukungan dari USAID dan UNDP bersama 20 organisasi LGBT Indonesia lainnya, seperti Forum LGBTIQ, GAYa Nusantara, Arus Pelangi, dan lain-lain, dewasa ini sangat mendukung terdapatnya kondusifitas bagi perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia bagi kaum LGBT Indonesia. Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi keluarga.
Perilaku LGBT pada gilirannya akan mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang membenarkan perilaku demikian.
Memang selalu ada celah bagi para pendukung gerakan LGBT untuk menggunakan hak suara dan berpendapatnya untuk mencoba memusyawarahkan kepercayaannya untuk mencapat mufakat yang dilandaskan oleh semangat kekeluargaan sebagai personifikasi atau inkarnasi dari sila ke-4. Namun, kita tidak boleh lupa juga bahwa sesungguhnya sila ke-4 pancasila diliputi dan dijiwai oleh sila-sila pendahulunya, sila ke-1 hingga sila ke-3.
Karena pada akhirnya, sila ke-5 atau “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanya dapat dicapai apabila manusia Indonesia telah menjiwai sila- sila sebelumya. Proses penjajakan meligitimasi LGBT, walaupun rasanya masih jauh dan panjang hingga dapat terealisasi, tidak ada salahnya untuk dilalui dan ditanggapi tanpa emosi yang berlebihan. Karena pada dasarnya, penjajakan tersebut merupakan cerminan dari sila ke-4 yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat guna mengembangkan inkarnasi sila ke-5 Pancasila, Indonesia yang berbudi luhur, sejahtera, serta merata dalam berkeadilan sosial.
Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo, dibangun dalam suatu tatanan integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat organis. Setiap diri kita adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model kemanusiaan kita sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan jelasnya garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan pada 1945.[31]
Beragam tanggapan serta dengan beragam landasan yang mendasari opini-opini mengenai pro dan kontra terhadap kaum LGBT. Mereka yang pro menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, transgender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sesama jenis (homoseksual). Sebaliknya, mereka yang kontra menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap gejala LGBT yang akan membahayakan generasi masa depan Indonesia. Oleh sebab itulah, posisi strategis pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk menangani polemik LGBT secara langsung agar tak terjadi disintegrasi bangsa.
Sejauh ini hukum nasional Indonesia tidak mengkriminalisasikan LGBT. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan seksual pribadi dan hubungan homoseksual non-komersial antara orang dewasa yang saling bersetuju. Hal ini berarti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menganggap perbuatan LGBT sebagai suatu tindakan kriminal; selama tidak melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik; antara lain hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan.[32]
Di Indonesia hubungan sesama jenis, baik dengan perempuan atau laki-laki, tidak dilarang jika mengacu pada KUHP pasal 292 yang berbunyi “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
 Secara eksplisit menyatakan pelarangan hubungan sesama jenis, jika dilakukan dengan anak dibawah umur.
Perbuatan ‘cabul’ diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Diantaranya seperti cium-ciuman, meraba-raba alat kemaluan, meraba buah dada, dan onani ke dalam perbuatan ini. Persetubuhan juga termasuk, tetapi dalam undang-undang diatur tersendiri. Yang dilarang dalam Pasal 292 bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.
Kelemahan pasal ini dua orang semua belum dewasa atau dua orang semua sudah dewasa bersama-sama melakukan perbuatan cabul, tidak dihukum menurut pasal ini, oleh karena yang diancam hukuman ini perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa. Agar dapat dihukum menurut pasal ini, orang dewasa itu harus tahu atau setidak-tidaknya patut menyangka bahwa temannya berbuat cabul itu belum dewasa.
Perumusan Pasal 292 KUHP mempunyai unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa. Artinya, orang dewasa tahu (unsur dolus) atau sepatutnya ia dapat menduga (unsur culpa). Lamintang menegaskan unsur subjektif itu membawa konsekuensi pengadilan harus dapat membuktikan adanya pengetahuan pelaku atau setidak-tidaknya dugaan pelaku bahwa pasangannya melakukan perbuatan cabul belum dewasa. Kalau tidak dapat dibuktikan tidak ada alasan bagi hakim menghukum pelaku.
Persepsi dari beberapa kalangan yang menjustifikasi bahwa penganut LGBT melakukan tindak pidana dibeberapa kasus misalnya pencabulan, pelecehan seksual, pornografi, pelacuran, kejahatan pemerkosaan yang ditengarai pelakunya adalah penganut LGBT, maka mereka harus diadili berdasarkan orientasi seksualnya, bukan berdasarkan dari tindak kriminal apa yang sudah mereka lakukan. Sebagai pelaku tindak pidana penganut LGBT mendapatkan hukuman bukan berdasarkan orientasi seksualnya, namun tetap berdasarkan perbuatan/tindak pidana apa yang mereka lakukan. Jika dilihat secara objektif, tidak ada manusia yang ingin menyimpang, apalagi terlahir dalam keadaan dua fisik. Dia yakin, semua manusia yang dilahirkan ke dunia ingin menjalani kehidupan mereka secara normal. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan penyakit, bukan bagian dari tindak pidana. Karena itu, negara, termasuk seluruh masyarakat Indonesia, punya tanggung jawab untuk menyembuhkan penyakit LGBT tersebut.[33]
Dalam merumuskan konsesi kehidupan bernegara, konstitusi kita tidak memuat konteks berpikir sebagaimana dalam tertuang dalam konstitusi Amerika ataupun  seperti Preamble UN Charter. Sebaliknya, pembukaan konstitusi kita memuat dengan konteks berpikir yang berbeda: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar.
Kita sebagai bangsa, antara anak dan orangtua, guru dan murid, istri dan suami, kakek dan nenek, sepupu, paman dan bibi, saudara, dan tetangga. Bangsa ini adalah bagian dari keutuhan diri kita sendiri. Kita sebagai kesatuan masyarakat organis yang meraih pencerdasan, bukan sekedar meraih pemenangan pribadi-pribadi. Oleh karenanya, istilah hak asasi sebagaimana dimaksudkan dalam terminologi Barat, tidak pernah masuk dalam alternatif luaran diskusi.
Cara berpikir kita dalam menghargai setiap generasi adalah dengan memposisikan jati diri pada tempatnya, yakni bak seorang anak yang mendapatkan tempat tumbuh kembang yang baik. Cara berpikir kita bukan seperti dalam mukadimah Piagam PBB yang memberikan apa-apa yang diingini setiap orang per orang. Hal semacam itu hanya akan membawa pada kemunduran generasi, karena kebanyakan keinginan hanya berisi kerakusan yang menghancurkan.
Kelompok LGBT di bawah payung “Hak Asasi Manusia” meminta masyarakat dan Negara untuk mengakui keberadaan komunitas ini; bila kita melihat dari Konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 28J ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Makna: Setiap orang itu harus saling menghormati satu dengan yang lain dan tidak ikut campur dalam hak-hak orang tersebut itulah pertandanya kita bernegara dan berbangsa
Kemudian dalam ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
Makna: Setiap orang diharuskan untuk selalu mematuhi peraturan yang telah diberlakukan undang-undang. Dimana bagi siapa yang tidak mematuhi peraturan atau melanggar peraturan undang-undang harus dikenakan saksi yang lebih berat dari sebelumnya. Agar tidak terjadi pelanggaran perundang-undangan.
Dalam konstitusi Indonesia memandang HAM memiliki batasan, di mana batasannya adalah tidak boleh bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum; Indonesia memang bukan Negara yang berdasarkan Agama namun Pancasila jelas menyatakan dalam sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga nilai-nilai agama menjadi penjaga sendi-sendi konstitusi dalam mewujudkan kehidupan demokratis bangsa Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara hukum (Rechtstaat) menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya". Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Begitu juga ditegaskan pula dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 70 yang menyatakan sebagai berikut
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Dan Pasal 73 UU HAM yang menyatakan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Pembatasan-pembatasan HAM memungkinkan demi penghormatan kepada hak asasi manusia oleh karenanya Negara hadir dalam melakukan batasan-batasan tersebut untuk kepentingan bangsa. Memang benar, setiap manusia mempunyai kebebasan masing–masing, tetapi jika ditelaah lebih dalam bahwa kebebasan yang dimiliki berbanding lurus dengan batasan yang harus dipenuhi pula, seperti apakah melanggar agama, kesusilaan, kepentingan umum, hingga keutuhan bangsa.
Hak asasi manusia tidak bisa dijadikan kedok untuk mengganggu hak orang lain atau kepentingan publik. Tidak ada argumen yang relevan untuk menghapus larangan pernikahan sesama jenis dengan dasar penghapusan diskriminasi. Gay dan lesbian bukanlah kodrat manusia melainkan penyakit sehingga tidak relevan mempertahankan kemauan mereka yakni legalisasi pernikahan sesama jenis atas dasar persamaan. Persamaan diberlakukan dalam hal pelayanan terhadap orang yang berbeda suku, warna kulit, dan hal lain yang diterima di masyarakat. Gay dan lesbian perlu diobati agar normal kembali sehingga tidak merusak masyarakat dan oleh karenanya kewajiban negara untuk mengobati mereka bukan melestarikannya.
Perkawinan bertujuan salah satunya melestarikan umat manusia. Sangat kontras bila dibandingkan kaum LGBT yang penyuka sesama jenis. Bila dilegalkan, LGBT akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah. Mulai dari menurunnya angka kelahiran karena sudah pasti sesama jenis tak bisa menghasilkan keturunan.
Hak untuk menikah dan berkeluarga bukan ditujukan untuk menjustifikasi pernikahan sesama jenis. Hukum perkawinan kita mendefinisikan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan perkawinan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan.
Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara. Jadi, secara jelas pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia.
Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa. Semakin menguatkan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan gangguan keberfungsian sosial yang memiliki kriteria gangguan keberfungsian sosial, diskriminasi, marginalisasi, dan berperilaku seks menyimpang.
Sebagai pelaku LGBT mereka sangat memperjuangkan agar pemerintah memberikan ruang kebebasan kepada mereka, sehingga pada akhirnya mereka menginginkan keberadaan mereka dinaungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga masyarakat tidak lagi mengucilkan keberadaannya dan memberikan kesempatan serta hak-hak yang sama dengan gender yang lain, terlebih dalam hal pernikahan, karena menurut mereka apa yang mereka lakukan adalah tidak melakukan pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku di Indonesia. Dan perundang-undangan yang berlaku secara Internasional.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab LGBT tersebut, di antaranya :
1. Faktor keluarga
Didikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki peranan yang penting bagi para anak untuk lebih cenderung menjadi seorang anggota LGBT daripada hidup normal layaknya orang yang lainnya.
Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan keluarga serta timbulnya rasa benci si anak pada orang tuanya. Sebagai contoh adalah ketika seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau tindak kekerasan lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain, maka akibat dari trauma tersebut nantinya anak perempuan tersebut bisa saja memiliki sifat atau sikap benci terhadap semua laki-laki.
Akibat sikap orang tua yang terlalu mengidam-idamkan untuk memiliki anak laki-laki atau perempuan, namun kenyataan yang terjadi justru malah sebaliknya. Kondisi seperti ini bisa membuat anak akan cenderung bersikap seperti apa yang diidamkan oleh orang tuanya.
Orang tua yang terlalu mengekang anak juga bisa malah menjerumuskan anak pada pilihan hidup yang salah. Kurangnya didikan perihal agama dan masalah seksual dari orang tua tua kepada anak-anaknya. Orang tua sering beranggapan bahwa membicarakan masalah yang menyangkut seksual dengan anak-anak mereka adalah suatu hal yang tabu, padahal hal itu justru bisa mendidik anak agar bisa mengetahui perihal seks yang benar.
2. Faktor Lingkungan dan pergaulan
Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT. beberapa point terkait dengan faktor ini adalah :
Seorang anak yang dalam lingkungan keluarganya kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, serta pendidikan baik masalah agama, seksual, maupun pendidikan lainnya sejak dini bisa terjerumus dalam pergaulan yang tidak semestinya. Di saat anak tersebut mulai asik dalam pergaulannya, maka ia akan beranggapan bahwa teman yang berada di dekatnya bisa lebih mengerti, menyayangi, serta memberikan perhatian yang lebih padanya. Dan tanpa ia sadari, teman tersebut justru membawanya ke dalam kehidupan yang tidak benar, seperti narkoba, miras, perilaku seks bebas, serta perilaku seks yang menyimpang (LGBT).
Masuknya budaya-budaya yang berasal dari luar negeri mau tidak mau telah dapat mengubah pola pikir sebagian besar masyarakat kita dan pada akhirnya terjadilah pergeseran norma-norma susila yang dianut oleh sebagian masyarakat. sebagai contoh adalah perilaku seks yang menyimpang seperti seks bebas maupun seks dengan sesama jenis atau yang lebih dikenal dengan istilah LGBT.
3.  Faktor genetik
Dari beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang menyimpang lainnya bisa berasal dari dalam tubuh si pelaku yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga terdahulu. ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui terkait masalah ini, seperti :
Dalam dunia kesehatan, pada umumnya  seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan satu kromosom. Akibatnya, lelaki tersebut bisa memiliki berperilaku yang agak mirip dengan perilaku perempuan.[34]
Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap perilaku LGBT. Seseorang yang memiliki kadar hormon testosteron yang rendah dalam tubuhnya, maka bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku perempuan.
4. Faktor Akhlak dan Moral
Faktor moral dan akhlak yang dimiliki seseorang juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku LGBT yang dianggap menyimpang. Ada beberapa hal yang dapat berpengaruh pada perubahan akhlak dan moral yang dimiliki manusia yang pada akhgirnya akan menjerumuskan manusia tersebut kepada perilaku yang menyimpang seperti LGBT, yaitu :
Iman yang lemah dan rapuh. Ketika seseorang memiliki tingkat keimanan yang lemah dan rapuh, besar kemungkinan kondisi tersebut akan membuatnya lemah dalam hal mengendalikan hawa nafsu. Kita tahu bahwa iman adalah benteng yang paling efektif dalam diri seseorang untuk menghindari terjadinya perilaku seksual yang menyimpang. Jadi dengan lemahnya iman, maka kekuatan seseorang untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya akan semakin kecil, dan itu nantinya bisa menjerumuskan orang itu pada perilaku yang menyimpang, salah satunya dalam hal seks. Semakin banyaknya rangsangan seksual. Banyak contoh yang bisa kita ambil sebagai pemicu rangsangan seksual seseorang. Misalnya semakin maraknya VCD porno, majalah porno, atau video-video lain yang bisa kita akses melalui internet.
5. Faktor Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Agama
Faktor internal lainnya yang menjadi penyebab kemunculan perilaku seks menyimpang seperti kemunculan LGBT adalah pengetahuan serta pemahaman seseorang tentang agama yang masih sangat minim. Di atas dikatakan bahwa agama atau keimanan merupakan benteng yang paling efektif dalam mengendalikan hawa nafsu serta dapat mendidik kita untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Untuk itulah, sangat perlu ditanamkan pengetahuan serta pemahaman agama terhadap anak-anak sejak usia dini untuk membentuk akal, akhlak, serta kepribadian mereka.
Dalam hal ini upaya-upaya yang dapat dilakukan agar pelaku LGBT tidak mengulangi perilaku penyimpangan seksual dan penyembuhan tidak hanya berupa upaya dari pelaku sendiri tapi juga melibatkan lingkungan, keluarga dan masyarakat sekitar. Misalnya bagi pelaku LGBT yang ingin kembali memiliki kehidupan normal, pihak keluarga terutama harus lebih mengawasi dan memberikan dukungan kepada pelaku, begitu juga masyarakat disekitar agar tidak mengucilkan pelaku, namun berupaya mengarahkan serta memberikan dukungan kepercayaan diri kepada pelaku, terlebih lagi bagi tokoh agama dan tokoh masyarakat yang harus membantu membimbing mengarahkan bagi pelaku untuk kembali ke jalan yang benar, melibatkan pelaku dalam kegiatan-kegiatan positif.
Hukum nasional di Indonesia tidak mengatur secara eksplisit tentang perilaku LGBT, sehingga menurut penulis pemerintah perlu memberikan ruang tersendiri terhadap perilaku penyimpangan seksual (LGBT) dengan cara membuatkan undang-undang tersendiri atau menyisipkan beberapa pasal dalam UU Pornografi. Yang perlu disisipkan dalam UU tersebut yaitu berupa larangan perilaku LGBT, ketentuan pidana , peran serta masyarakat, perlindungan bagi korban, serta upaya penyembuhan orientasi seksual (rehabilitasi).
  1. Perlindungan Hukum terhadap Korban dari Perilaku LGBT
Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragama dan berbudaya. Ada dua hal yang menghimpit kaum LGBT, yaitu: antara norma dan keadilan. Bagi kaum LGBT norma dan keadilan tidak dapat serta merta berjalan beriringan, keberadaan mereka yang dianggap berbeda oleh masyarakat “normal” lainnya dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan budaya. Bagi sebagian besar masyarakat individu atau kelompok orang yang kebiasaan dan budayanya tidak sesuai dengan norma tidak berhak untuk mendapatkan keadilan dalam setiap segi kehidupan mereka. Hal inilah yang pada akhirnya timbul sikap diskriminatif dan kekerasan yang seringkali ditujukan kepada kaum LGBT, tidak hanya dari masyarakat Namun juga aparat penegak hukum.
Berbicara kekerasan seksual yang kerap dialami kaum perempuan dan anak-anak, rupanya, kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) juga kerap menjadi korban kekerasan seksual. Sangat tinggi angka pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual yang menjadikan penganut LGBT sebagai korbannya. Selain dianggap minoritas, banyak masyarakat yang menganggap bagian dari mereka merupakan kaum yang harus dijauhi dan dimusnahkan, sehingga mereka kerap kali melakukan perbuatan tidak pantas dengan terang-terangan, misalnya bullying didepan umum pada waria.
Pemerintah sebenarnya telah memberikan perlindungan hukum terhadapa korban LGBT yang tertuang dalam UU No 13 Tahun 2006 jo. UU no 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 6 (1)

”Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a.bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Namun seperti kita ketahui dilapangan bahwa yang tertera dalam pasal tersebut belum terlaksana sesuai dengan yang tercantum. Meskipun dalam kasus ini berat menentukan mana yang menjadi korban dan mana yang menjadi pelaku. Karena bisa saja dari pelaku yang berkilah seolah-olah dirinya adalah korban. Disinilah tugas pemerintah untuk melakukan pemeriksaan lebih dalam agar dapat menemukan siapa yang sebenarnya menjadi pelaku dan korban.
Dalam pasal 6 tersebut juga disebutkan bahwa seseorang yang menjadi korban berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan psikososial dan psikologis berdasarkan keputusan LPSK(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) artinya untuk menemukan korban atau pelaku fungsi LPSK sangat berperan, agar bantuan dari pemerintah tepat disampaikan.
Kemudian dalam pasal 5 UU No 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial disebutkan
”Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: a. kemiskinan; b. ketelantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Kita lihat sebagaimana yang terjadi dilapangan dan kehidupan sehari-hari, belum ada upaya dari pemerintah untuk menjalankan sesuai perundang-undangan yang berlaku. Seharusnya pemerintah bisa memulai dengan menyediakan tenaga psikolog yang di khususkan untuk menangani korban yang ditempatkan di fasilitas-fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau oleh para korban dan dalam hal ini semuanya harus difasilitasi oleh Negara.
Beberapa peristiwa tindak penyimpangan orientasi seksual dilakukan oleh kalangan LGBT melalui praktik pornografi dan adopsi anak. Mereka menyebarkan perilaku LGBT tersebut melalui media internet sehingga diharapkan menjadi sesuatu yang lazim dan legal di tengah masyarakat. Semakin banyaknya pornografi penyebaran LGBT tersebut jika tidak dicegah akan menimbulkan efek penyebaran LGBT yang cepat. Melalui kamuflase adopsi anak, para pelaku LGBT juga leluasa mempraktikkan perilaku LGBT.
Untuk mencegah hal tersebut, negara telah menetapkan pencegahan penyimpangan orientasi seksual dan menjelaskannya dalam Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi dan telah memasukkan istilah “persenggamaan yang menyimpang” sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain “persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.”
Namun meskipun upaya pencegahan secara formal telah dilakukan oleh Negara, namun penyebaran LGBT akan tetap dapat terjadi jika diri dan lingkungan terdekat termasuk keluarga menjadi pintu penyebaran LGBT.
Kemudian upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan diri korban LGBT khususnya bagi anak dibawah umur yang mengalami traumatik yaitu tidak melakukan tindakan bullying, komunikasi antara orang tua dan anak yang terbuka, menciptakan suasana lingkungan yang nyaman, memutus terhadap lingkungan luar serta media sosial yang negatif, keluarga sebagai media pendengar yang baik dan mengarahkan kepada kegiatan-kegiatan positif yang menyibukkan sehingga korban tidak mengingat kembali hal yang pernah dialami pada dirinya dimasa lalu. Bimbingan ajaran agama kepada korban agar korban lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Anak yang menjadi korban jangan sampai terisolir oleh lingkungan luar, tapi diarahkan kepada lingkungan dan pergaulan yang lebih baik. Dan serta merta terus memberikan dukungan kepada korban.
Upaya pencegahan agar jangan sampai terjerumus menjadi pelaku LGBT.
1.         Menjaga Pergaulan 
Dimana seorang wanita tidak baik membiasakannya diri berteman dengan kaum laki-laki, karena dampaknya akan mempengaruhi psikologisnya yang nantinya berkarakter dan berpenampilan seperti laki-laki. Sehingga kondisinya, ketika dalam sebuah keluarga ada banyak anak laki-laki, akan tetapi hanya ada satu anak perempuan. Maka sang ibu harus mengambil peran yang lebih besar, untuk memasukan karakter seorang wanita padanya, sehingga hal ini membuat anak perempuan agar tidak kehilangan jati dirinya.
2.         Tutup Segala Celah Pornografi
Sudah banyak diketahui bahwasanya penyebaran LGBT ini identik dengan sesuatu yang bersifat pornografi. Seseorang umumnya bisa “terjangkit” Pornografi karena penyalahgunaan teknologi seperti gadget dan lainnya. Penting untuk setiap pihak, baik itu orang tua maupun pihak terkait lainnya mencounter dan menangkal dari dampak buruk penyalahgunaan teknologi ini.
3.         Adakan Kajian atau Seminar Tentang Bahaya LGBT
Anak-anak yang sudah masuk masa SMP dan SMA telah dapat diberikan edukasi dari kegiatan-kegiatan formal seperti seminar dan semacamnya. Penting untuk segala pihak yang berkepentingan agar mengadakan dan mendorong anak-anak muda untuk mengikuti seminar tentang bahaya LGBT, sehingga mereka bisa lebih mawas diri dari resiko terkena prilaku LGBT. Sangat diharapkan agar Perguruan Tinggi bisa secara resmi untuk mendirikan pusat kajian dan penanggulangan dari propaganda LGBT yang saat ini masih terus disebarkan dengan gencar.Aktivitasnya juga termasuk memberikan konsultasi psikologi dan pengobatan untuk mereka yang terkena prilaku LGBT.
4.         Peran Media Massa
Sangat diharapkan agar media massa menampilkan sesering mungkin untuk menyebutkan kisah-kisah mereka yang awalnya terkena prilaku LGBT, kemudian bisa menjadi seorang yang normal kembali. Media Massa hendaknya membangkitkan rasa optimisme pada orang-orang, bahwa mereka yang menjadi korban LGBT, ternyata bisa disembuhkan.

5.         Peran Pemerintah
Pemerintah diharapkan melakukan peninjauan peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya hubungan seksual yang sejenis, dan mencegah penyebaran pornografi secara umum.
Pemerintah dan DPR perlu untuk segera membuat peraturan untuk mencegah dan menutup celah daru usaha kelompok tertentu yang ingin melegalisasi LGBT, seperti yang terjadi itu dari Amerika dan negara-negara lainnya.
Dapat juga masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan, agar peduli pada pemasalahan ini dengan mengajukan gugatan judicial review terhadap pasal-pasal KUHP yang masih lemah dalam pencegahan kejahatan seksual. Pemerintah bersama masyarakat harus bergerak cepat untuk pencegahan LGBT, serta juga memberikan penyuluhan tentang LGBT.
6.         Peran Para Tokoh, Ulama dan Ahli Pendidikan
Masjid-masjid besar diharapkan untuk membuka klinik LGBT, untuk memberikan penyuluhan keagamaan kepada penderita LGBT. Peran para ulama, da’i dan ahli pendidikan sangat penting agar memberikan pendidikan dan nesehat yang ampuh agar para penderita LGBT bisa kembali normal. Para tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, dapat melakukan pendekatan kepada para pemimpin media massa yang terutama televisi, untuk mendorong agar media massa ikut berperan memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar terhindar dari LGBT.
7.         Peran Masyarakat
Masyarakat hendaknya melakukan pendekatan yang baik dan tidak memandang miring para pelaku LGBT, karena bagaimanapun pelaku LGBT merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak sebagai manusia. Yang perlu dilakukan adalah menyadarkan para pelaku LGBT dari kekeliruannya. Orang-orang yang memiliki rezeki lebih bisa memberikan beasiswa secara khusus kepada calon-calon doktor yang menulis disertasi dan bersungguh-sungguh dalam penanggulangan LGBT. Hal ini nantinya akan sangat membantu masyarakat, agar bisa dengan baik dan benar untuk berhadapan dengan pelaku LGBT, dan menyadarkannya agar kembali menjadi manusia yang normal.









BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.         Perspektif hukum positif di Indonesia terhadap LGBT tidak memiliki landasan hukum untuk mendapatkan pengakuan bagi keberadaan mereka ditengah kehidupan masyarakat. Terkait dengan Hak asasi manusia yang dijadikan payung bagi penganut LGBT bernaung tidak dapat seutuhnya dijadikan sebagai pelindung. Perilaku LGBT juga dianggap melanggar moralitas bangsa yang menganut paham ketimuran. Sehingga perilaku LGBT tersebut dianggap tidak sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.
2.         Perlindungan hukum terhadap korban dari perilaku LGBT sebenarnya sudah ada, namun yang terjadi dilapangan belum sepenuhnya mampu melaksanakan apa yang tercantum di dalam undang-undang tersebut.
B.     Saran
1.         Sebaiknya pemerintah Indonesia melakukan pertemuan antara para pemuka agama maupun pemuka adat yang ada di Indonesia untuk mendiskusikan serta mencari solusi dalam mencegah atau menangani serta memberikan terapi ataupun rehabilitasi bagi mereka yang menganut perilaku LGBT dan kemudian mensosialisasikan kepada masyarakat luas mengenai ketetapan yang sudah ditentukan bersama.
2.         Seharusnya peraturan yang sudah ada dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak hanya sekedar tercantum dalam bentuk-bentuk peraturan saja karena negara tidak bisa lepas tangan dan berlindung di balik penghargaan terhadap hak asasi warga negara.




[1] Diaz Ekaputra. LGBT Dalam Penegakan HAM di Indonesia dan Internasional. https://medium.com/@diazetra/lgbt-dalam-penegakan-hak-asasi-manusia-di-indonesia-dan-internasional-bef764e96e23 (Diakses pada 15 Mei 2018)
[2] Tim Redaksi Pustaka Baru. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. Cet I, 2015 Hal 74
[3] Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Pada Jurnal Strada 3.1 (2014) diunduh Tanggal 10 Juli 2018.
[4] Husin Nafarin. 2018. Kalsel Darurat LGBT. Banjarmasin Post 12 Januari 2018
[5] Andreas Gerry Tuwo. 2017. Liputan 6. 24 Mei 2017
[6] Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia. USAID. 2013. Hal 25
[7] Asmaul husna.LGBT,antara HAM dan Demokrasi. http://aceh.tribunnews.com/2017/12/28/lgbt-antara-ham-dan-demokrasi (Diakses pada 15 mei 2018)

[8] Mira Fajri. LGBT dalam Perspektif Hukum di Indonesia. Republika. 29 Februari 2016
[9] Safrudin Aziz. Pendidikan Seks Perspektif Terapi Sufistik Bagi LGBT.Penerbit Ernest, Kendal 2017 Hal 36
[10] Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Di Jurnal Strada Volume 3, No. 1 2014
[11] Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya, Jakarta: CV. Sagung Seto,
2004
[12] Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 2005.

[13] Margareth W Matlin. The Psychology of Women. PraMedia Global USA. Cet 7Hal 282


[14] Turtur.2011. Penyimpangan Sosial. http://nturtur.blogspot.com/2011/10/penyimpangan-sosial.html (Diakses pada 10 Juni 2018)
[15] Esther.2016. Ciri Gay yang Perlu Anda Ketahui. https://www.kompasiana.com/estherlima/56a831fdf19273351021c08a/10-ciri-gay-yang-perlu-anda-ketahui (Diakses pada 10 Juni 2018)
[16] Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Pers, Jakarta, hlm. 135
[17] KBBI. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. https://kbbi.web.id/seksual (Diakses pada 10 Juni 2018)
[18] Eny Kusmiran, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Salemba Medika, Jakarta, 2007, hlm.27
[19] Yash, Transseksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transseksual Perempuan ke Laki-Laki, AINI, Semarang, 2003, hlm 17
[20] Wikipedia. LGBT. https://id.wikipedia.org/wiki/LGBT (Diakses pada 26 Juni 2018)
[21] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia,Yogyakarta: Kanisius, 1990
[22] Kusmanuji.2008. Konsep Dasar HAM. http://koesjreng.blogspot.com/2008/11/konsep-dasar-ham.html (Diakses Pada tanggal 17 Juni 2018)
[23] Asri Wijayanti. 2008. Historisitas Singkat Perkembangan HAM. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20081124071502 (Diakses Pada tanggal 17 Juni 2018)
[24] P.A.F. Lamintang, , Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 1997, hlm 181
[25] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, hlm. 97.
[26] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 33.
[27] Soenarto Soerodibroto. 2001. KUHP dan KUHAP. Jakarta. Rajawali Pers.Cet 4 Hal 173
[28] Soenarto Soerodibroto, loc.cit
[29] Linda Rae Bennet (“et al”), Seksualitas di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Cet I, 2018. Hal 340
[30] A.Muiz Aziz. LGBT, Ditinjau dari Aspek Sosiologis,Hukum, HAM & Pancasila. Forum Ilmiah 2017
[31] Mira Fajri. LGBT dalam Perspektif Hukum di Indonesia.Republika. 2016
[32] Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_LGBT_di_Indonesia (Diakses 4 Agustus 2018)
[33] Media Indonesia. LGBT Bukan Tindak Kejahatan. Senin, 18 Des 2017
[34] Penyebab LGBT. https://cintalia.com/kehidupan/penyebab-lgbt (Diakses 15 Agustus 2018)